Dear Alex :
“Ketika rindu harus memeluk kisah,
adakah kisah itu aku?”
Aku
berjalan menuju kasir foodcourt mal untuk mengisi saldo dan mencari makanan apa
yang akan aku beli. Jam makan siang begini semua tempat duduk penuh, bahkan aku
lihat beberapa ada yang berbagi meja. Mungkin aku bisa mengikuti cara mereka
karena aku hanya sendirian tak perlu banyak meja dan kursi.
“Diandra?”
Langkah ini langsung terpaku terdiam
sambil memegang nampan berisi makanan. Ini beneran ya? Atau ada orang lain yang
serius banget miripnya? Eh, tapi nggak sih, ini beneran.
“Iya. Kamu, Alex?”
Ia mengangguk tersenyum. Senyumnya masih
sama seperti 15 tahun lalu.
“Kamu lagi cari tempat duduk? Gimana
kalo duduk bareng aku aja? Eh, tapi kamu sendirian atau sama temen?”
“Aku sendirian.”
“Kamu apa kabar? Klise ya pertanyaan aku
hehehe…”
“Hehehe… Nggak kok. Masa nanya kabar
dibilang klise. Kamu lagi ngapain di sini? Ada meeting?”
“Oh bukan. Tadi pagi abis nganter anak
terus aku males pulang jadi sambil kerja aja di sini.”
“Kamu kerja di sini? Enak ya bisa kerja
dari mana aja.”
Alex tak banyak berubah, terutama sorot
matanya yang teduh.
“Aku masih sering lihat linimasa kamu.”
“Buat apa? Emang masih ada pengaruhnya
buat kamu?”
“Iya ada dong.”
“Oh ya? Contohnya?”
“Sebuah penyesalan.”
Aku terdiam menatapnya. Menghentikan
makan dan mencoba mendengarkan apa yang ia sebut sebagai penyesalan.
“Kamu tahu kita nggak pernah
mengungkapkan soal apapun tentang kita. Tapi hati kita jelas terkait. Perasaan
kita seperti udah terjalin erat, aku mengerti kamu dan kamu mengerti aku. Dulu,
buat kita itu udah cukup. Melebihi suatu pernyataan cinta se-romantis apapun.
Lalu aku pergi, demi sebuah cita-cita bullshit
hehehe… Pergi tanpa penjelasan dan meninggalkan penyesalan. Kamu tahu, aku
nggak pernah secuil pun menghilangkan ini dari semuanya. Sampai detik ini.”
Entah kenapa aku mulai sesak. Kata-kata
Alex memenuhi otakku bercampur baur dengan rasa yang tertinggal. Aku berdiri
dari bangku di hadapan Alex dan meraih tasku. Mungkin ada baiknya aku tak
mendengarkan semua ini.
“Diandra, tunggu!”
Aku terus melangkah menghiraukan
panggilannya. Alex mampu mengejarku dengan setengah berlari. Tangannya cukup
kuat menggenggam tanganku. Langkahku terhenti seketika.
“Diandra, I love you… Selamanya…” Alex
berbisik di telingaku.
Ya Tuhan, ini mungkin akan terdengar
syahdu kalau saja 15 tahun lalu Alex mengucapkannya. Tanpa aku harus memberi
jeda pada Satya tentang lamarannya. 15 tahun lalu, aku pernah salah menerka
segalanya, bahwa ia akan lebih dulu meminang aku bukan malah mendukung aku
untuk segera menerima Satya.
"I love you too Lex..."
*bersambung*
#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar