Kepergian ayah tak hanya memberi luka di
hati kami namun juga menoreh kerinduan terdalam. Ibu seperti telah ikhlas menerima
semuanya, ia yang paling tegar dibanding kami anak-anaknya. Entah isi hatinya,
mungkin sama terlukanya atau malah paling terluka dari kami. Kehilangan belahan
jiwa yang telah bersama selama hampir 45 tahun adalah hal terberat. Aku dapat
merasakan kehilangan yang ibu rasakan seperti saat Satya dan aku memutuskan
berpisah dan pergi jauh dari rumah, dari aku dan anak-anak. Ini menjadi
kehilanganku yang kedua tentang sosok laki-laki yang sangat aku cintai.
Meskipun perpisahanku dan Satya belum resmi secara hukum, tapi tetap saja melepasnya
pergi dari hidupku itu ujian paling sakit.
“Kamu apa kabar? Kok sekarang kurusan?”
“Kabar baik. Ya mungkin capek selama
merawat ayah. Kamu apa kabar?”
“Baik juga. O iya, aku mau ambil
surat-surat ayah, ibu bilang kamu yang simpan.”
“O gitu. Ada di lemari yang biasa, masih
inget kan? Tolong ambil sendiri, tanganku masih kotor.”
"Diandra, aku minta maaf. Bahkan dalam keadaan seperti ini aku nggak bisa selalu ada di samping kamu."
"Sudahlah. Aku nggak papa. Toh aku tetap harus membiasakan diri ini tanpa kamu kan?"
"Diandra, apa sampai saat ini ayah dan ibu masih tidak tahu tentang kondisi kita?"
"Menurut kamu gimana? Apa kamu pikir aku tega cerita pada mereka? Sekarang cuma ada ibu, tapi rasanya malah makin berat buat kasih tahu ibu. Lagipula itu tugas kita berdua untuk kasih tahu ibu, bukan hanya aku, iya kan?"
"Iya aku tahu. Nanti aku cari waktu yang tepat untuk kita kasih tahu ibu dan keluarga."
"Kamu udah siap?"
"Diandra, kamu tahu benar sampai kapanpun aku nggak pernah siap untuk melepas semua ini, kamu tahu aku sangat bergantung sama kamu dan anak-anak."
"Tapi sekarang kamu bisa kan?"
Satya hanya menarik nafas panjang, ia tahu berdebat soal ini akan berujung pada pertengkaran. Aku masih terdiam menatapnya. Satya terlihat seperti
tak terawat, tubuhnya agak gemuk tapi tak terurus dan pucat, kulitnya agak
gelap, matanya yang dulu selalu menyiratkan kehangatan kini letih seperti
sangat kurang tidur. Kamu kenapa Satya? Apa perempuan itu tak mengurusmu dengan
baik? Ini seperti bukan kamu yang aku kenal. Dari balik punggungnya aku dapat
menerka sebuah beban besar dalam hatinya. Ia pasti sedang kalut, kacau atau
malah berantakan hidupnya. Ia masih sibuk mencari surat-surat ayah di lemari,
aku lalu pergi meninggalkannya.
*bersambung*
#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar