Aku menelepon Satya memberitahukan tentang
keadaan ayah yang sedang kritis. Walaupun kami sudah pisah rumah tapi Satya
masih menantu ayah. Tak baik rasanya kalau aku tak memberitahukannya. Bukan aku
tak mengharapkan kehadiran Satya, hanya saja kalau setiap akhir percakapan kami
cuma jadi pertengkaran nantinya akan sia-sia.
“Halo, maaf aku cuma mau kasih kabar,
ayah kritis, kalo sempat tolong mampir ke rumah.”
“Astaga! Aku langsung kesana.”
Tanpa
aku sadari ternyata Diara telah berdiri di dekatku, entah ia mendengar atau
tidak ucapanku pada Satya. Aku lihat ia juga sibuk denga telepon genggamnya.
“Satya dimana, Kak?”
“Oh, dia masih di luar kota, tapi dia langsung
pulang udah aku kabari.”
Menjelang
siang hari Satya baru sampai di rumah dan langsung menuju ke kamar ayah.
Wajahnya seperti getir melihat keadaan ayah, seperti ada luka yang pernah ia
sematkan pada ayah dan ia menyesal. Laki-laki berpostur tinggi dan tegap itu
langsung mengambil posisi di samping ayah, meraih jari jemari dan menggenggamnya.
Cukup lama ia mencium tangannya. Sebuah ucapan ia bisikkan di telinga ayah,
mungkin permintaan maaf atau apalah. Aku tak mendengar.
Pelan-pelan
Satya melepaskan tangannya dari tangan ayah, menatap laki-laki senja yang
semakin kurus tubuhnya. Tangannya langsung terkulai lemas, tak ada pergerakan. Satya
mencoba memanggil ayah beberapa kali. Aku dan Diara menangis terisak di ujung
tempat tidur. Ibu masih berusaha memanggil ayah, tangannya tampak menepuk-nepuk
pipi sang suami tercinta. Sebelum akhirnya ia menyadari bahwa ayah telah pergi.
Aku dan Diara menangis sambil berpelukan. Banyak hal yang kami sembunyikan dari
ayah dan membuat ia mengira bahwa kami anak-anaknya baik-baik saja. Sungguh,
ingin sekali kami bercerita pada ayah. Ya Tuhan, kami rindu ayah.
*bersambung*
#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar