YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 20 September 2018

30 Days Writing Challenge



          Pernah kepikiran nggak, ikutan sebuah acara challenge menulis? Kalau menulisnya hanya seminggu atau berapa hari saja ya mungkin sempat, tapi kalau 30 hari non stop menulis gimana? Ditantang selama 30 hari untuk konsisten menulis dengan berbagi kelompok dan mendapatkan feedback dari sesama peserta. Tantangan menulis 30 hari yang disebut juga 30 Days Writing Challenge atau 30 DWC, pertama kali saya lihat infonya di sebuah akun instagram bernama @infolombamenulis dan saya langsung tertarik. Setelah mendaftar saya hanya mengira acara ini hanya sekedar menulis saja, tanpa ada aktivitas lainnya. Tapi ternyata saya salah. Dari sekian banyak peserta, yang disebut sebagai fighter, kami dibagi menjadi beberapa kelompok yang disebut sebagai squad. Setiap squad memiliki pemimpin squad yang disebut guardian, tugasnya adalah melaporkan semua link tulisan kami dan juga sebagai pemberi info dari para mentor. Dan setiap minggu kami berbagi feedback per squad atas tulisan tersebut.
           
            Setelah mengetahui saya masuk di kelompok squad 4, guardian langsung memasukkan saya ke dalam grup whatsapp agar komunikasi kami lebih mudah. Kelompok saya terdiri dari 9 perempuan super power yang terdiri dari saya, Sarah, Trias, Ira, Nurindah, Dera, Arfi, Riska, dan Desy. Menurut saya squad 4 itu termasuk yang paling kompak diantara semua squad. Semua saling bantu tentang sharing info menulis. Alhamdulillah ladang squad kami jarang menguning, hampir selalu hijau. Senang nggak sih ada di squad 4? Pastinya! Senang banget bisa mengenal para perempuan hebat ini, senang banget bisa berbagi ilmu di squad ini dan senang banget bisa menambah keluarga baru. Bahkan saking kompaknya kami sudah berencana membuat buku dari kumpulan cerpen. Seru yaa... Love you all girls *kecup

            Jadi apa kesan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis ini? Bangga! Karena nggak semua orang bisa ikut dan konsisten sampai selesai, nggak semua orang bisa dapat ilmu menulis dengan tantangan seperti ini dan nggak semua orang bisa keren kayak fighter di 30 DWC ini J Apa yang saya dapat dari 30 DWC ini? Banyak! Dapat keluarga baru, teman baru, ilmu menulis baru, dapat pahala juga loh hehehe... Terima kasih banyak untuk semua para mentor yang telah membantu saya dan para fighter menimba ilmu penulisan. Semoga ilmu yang kakak-kakak mentor berikan penuh manfaat dan berkelanjutan ke teman-teman lain atau bahkan anak-anak kami. Sukses selalu untuk event menulisnya, semoga semakin berkembang 30 DWC ini menjadi puluhan bahkan ratusan jilid J



#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day30

Rabu, 19 September 2018

SISTER


Untuk Diandra Paramitha tercinta,

Apa kabar kesayangan ayah yang cantik? Semoga selalu sehat dan baik-baik saja. Ayah menulis surat ini sebagai obat rindu kalian sama ayah karena ayah merasa waktu ayah sudah tak lama lagi. Saat kalian membaca surat ini dapat dipastikan bahwa ayah telah tenang ditempat terindah, karena ayah berpesan pada ibu untuk memberikan surat ini bila ayah sudah pergi selamanya.

Anak sulung ayah yang paling dewasa dan berjiwa besar, begitu sering ayah membuat sedih dan kecewa hati Diandra hanya karena kamu kurang sempurna dalam hal akademis. Sejak kecil ayah tahu kamu sering kesal dengan sikap ayah yang tak pernah simpati dengan nilai-nilai sekolahmu. Percayalah nak, ayah bangga. Ayah bangga dengan apapun yang kamu raih saat itu. Yang membuat ayah makin bangga adalah kamu telah tumbuh sebagai pribadi yang mandiri dan menjadi diri sendiri.

Kamu tak pernah memusuhi dan iri pada adikmu walaupun ayah selalu berat sebelah. Percayalah nak, ayah takjub dengan kebaikanmu. Bahkan disaat dewasa kamu telah memiliki anak dan masalah yang muncul di dalam rumah tanggamu, kamu tetap bersahaja. Kamu begitu kuat, sabar dan berbesar hati. Ayah tahu kamu jarang sekali bercerita tentang isi hatimu. Percayalah nak, ayah tahu semua keluh kesahmu dengan Satya. Mungkin ayah tidak pernah mengatakan ini tapi kamu harus tahu ayah menyayangi Satya seperti anak kandung ayah sendiri.

Satya laki-laki terbaik untukmu nak, dengan atau tanpa kekhilafannya. Kembalilah kalian bersama, kembalilah membesarkan anak-anak bersama, mereka butuh kalian seutuhnya tidak bercerai berai. Diandra dan Satya, terima kasih telah menjadi orangtua terbaik untuk 4 orang cucu ayah dan ibu. Cucu-cucu yang selalu memberi warna di setiap detik sisa hidup ayah. Jagalah mereka selalu dengan penuh cinta. Mereka anak-anak yang hebat.

Ayah mencintaimu selalu...
Salam rindu terhangat dari surga,

Ayah

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk Diara Padma tercinta,

Apa kabar kesayangan ayah yang cantik? Semoga selalu sehat dan baik-baik saja. Ayah menulis surat ini sebagai obat rindu kalian sama ayah karena ayah merasa waktu ayah sudah tak lama lagi. Saat kalian membaca surat ini dapat dipastikan bahwa ayah telah tenang ditempat terindah, karena ayah berpesan pada ibu untuk memberikan surat ini bila ayah sudah pergi selamanya.

            Anak bungsu ayah yang selalu mengikuti apa yang ayah mau, anak yang berbakti karena telah mengesampingkan keinginannya dan mewujudkan cita-cita ayah. Percayalah nak, ayah malu, karena ayah telah memaksa ego ini demi kebahagiaan sendiri tanpa ayah tahu apa yang kamu mau. Maafkan ayah, terima kasih untuk kamu karena begitu besar tekadmu untuk sebuah kata bangga dari ayah. Semua kesempurnaan yang kamu usahakan tak pernah membuat ayah jera untuk selalu mengatur hidupmu, padahal kamu punya kehidupan sendiri. Percayalah nak, ayah menyesal.

            Kamu yang saat ini merasa bahwa tak ada lagi kesempurnaan yang bisa kamu berikan pada ayah karena keadaanmu yang belum memiliki anak. Percayalah nak, ayah tak memaksa. Untuk kali ini ayah yang harus ikhlas karena itu ketentuan dari sang pemilik kuasa. Ayah belajar banyak dari pernikahanmu dan Yuka, bahwa membangun rumah tangga memang tak selalu soal anak. Itu takdir. Bukan juga Tuhan tak mempercayai kalian untuk menitipkan makhluk kecilnya. Tapi ini pembelajaran buatmu dan Yuka. Belajarlah untuk saling memiliki berdasarkan cinta, bukan ego. Perbaikilah rumah tanggamu dengan Yuka, masih ada kesempatan untuk berbenah diri. Kamu layak bahagia, dengan atau tanpa anak di dalam pernikahanmu.

Ayah mencintaimu selalu...
Salam rindu terhangat dari surga,


Ayah


*bersambung*

#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day29

Selasa, 18 September 2018

SISTER


Ada banyak hal yang dapat menjadi sumber kekuatan manusia, keluarga, pertemanan, persahabatan, kekasih hati, bahkan musuh dalam hidup kita. Termasuk anak-anak yang selama ini menjadi kekuatan dalam hidup aku dan Satya. Ya, harusnya mereka memang tetap dapat menjadi salah satu kekuatan pernikahan kami. Tapi kenyataannya? Kami nggak mempedulikan itu semua. Ego kami lebih banyak berbicara. Cinta kami seakan mulai memudar tanpa tahu bahwa masih ada sisi lain yang dapat terselamatkan.

           Satya duduk berteman malam di teras rumah, matanya menatap awan yang semakin temaram. Sejak aku keluar dari rumah sakit, untuk sementara waktu Satya kembali ke rumah menjagaku sampai aku sehat. Anak-anak begitu merindukan ayahnya dan itu lumayan menyembuhkan sedikit sakitku. Bahagia melihat mereka tertawa bersama Satya dengan segala guyonan dan keseruan saat bermain, sesekali mereka bercerita tentang kejadian atau apapun yang telah mereka lakukan di sekolah. Aku bahkan tak tahu sampai kapan mereka akan merasakan hal itu, merasakan memiliki ayah seutuhnya.

“Ayah belum tidur?”
“Eh, Bulan… Bulan kok belum bobo? Ini kan sudah malam, besok Bulan sekolah loh?”
“Bulan mau tidur sama Ayah, Ayah kan kerjanya jauh udah jarang temenin Bulan bobo lagi, Bulan kangen sama Ayah.”
“Ayah juga kangen banyaaak sama Bulan.”
“Banyak banget? Sedunia? Se-Indonesia?”
“Hahaha… Iya dong, sejagad raya.”
“Sejagad raya itu apa?”
“Sejagad raya itu sampai luar angkasa dan semua semesta alam.”
“Waaahhh kereeenn…”
“Kok keren?”
“Iya keren, kangennya Ayah sampai semesta alam, berarti Ibu kalah.”
“Oya? Masa sih? Ibu kan biasanya hebat nggak pernah kalah.”
“Iya, waktu Ibu sedih katanya Ibu lagi kangen, kangen sama anak-anaknya, sama Bulan, sama Mas Bintang, sama Mas Awan, sama Kakak Langit.”
“Ibu sedih? Kapan?”
“Waktu Ayah pergi. Terus Bulan tanya, kalo Ibu kangen sebesar apa kangennya? Ibu bilang, seluas samudera hahaha… Mungkin Ibu belum bilang kalo kangen sama Ayah juga, makanya baru seluas samudera belum sampai semesta alam.”
“Huu kamu bisa aja. Ya udah kita bobo yuk, Ayah ngantuk.”

Bulan mengangguk tersenyum, Satya langsung menggendongnya masuk ke dalam. Bulan adalah keceriaan di keluarga kami, bocah perempuan yang ceriwis dan cerdas. Tingkahnya seringkali membuat kami tertawa. Ia gadis kecil yang sangat penyayang, walau berbeda usia agak jauh dari Bintang dan Awan kakaknya, tapi ia selalu kritis dan pemberani. Malam ini Bulan menjadi obat perindu terbesar di hati Satya, bersamanya hanya ada kehangatan penuh kasih sayang. Mungkin aku dan Satya harus belajar banyak dari sosok cilik bernama Bulan.    



*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day28

Senin, 17 September 2018

SISTER


Bagiku Diara adalah perempuan yang memiliki cahaya terang layaknya matahari. Ia penuh semangat seperti matahari terbit, tegas seperti panas di siang hari tapi meneduhkan kala senja. Perempuan keras kepala yang aku kenal sejak kecil ternyata menyimpan sejuta kerinduan untuk memeluk cerita yang sama kepadaku. Tentang hidupnya, tentang takdirnya dan tentang belahan jiwanya. Sejak obrolan kami di depan makam ayah beberapa waktu lalu, Diara seolah menemukan apa yang ia sebut sebagai tempat berbagi. Ya, kini aku lah tempat curahan hatinya. Tak seperti dulu, ia lebih banyak terbuka tentang Yuka.

“Diara, kalau kamu ingin pergi, silahkan. Mungkin ego ku memang telah mengalahkan cinta terbesarku.”
“Bumi yang berputar, bukan matahari yang benar-benar tenggelam, jadi kenapa kamu selalu mengharapkan senja?”
“Sudahlah, toh selamanya kita sulit memaksakan keadaan ini. Maaf kalau aku tak bisa memberikan apa yang kamu mau, maaf kalau kamu hanya tersiksa dengan pernikahan ini.”
“Yuka, apa cuma segini waktu yang kita butuhkan untuk rumah tangga kita? Apa cuma sampai di sini perjuangan kita untuk tetap bertahan?”

Diara masih saja menaruh harapan itu, harapan bahwa Yuka bisa menjadi awan putih yang ada di bawah sinar matahari dan melindunginya dari terik. Kalaupun ada hari-hari yang sangat menyiksa dan membuat sakit hati, pasti akan ada hari-hari lain untuk kita memulai lembaran baru. Dan memulainya bersama matahari terbit adalah sebuah keikhlasan.   


*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day27

Minggu, 16 September 2018

SISTER


Ibarat langit, Alex adalah sosok yang selalu akan menjaga Diandra dari awan mendung. Lantas bagaimana mungkin Satya bisa mengimbangi apa yang dilakukan Alex? Kalau ternyata ia sendiri yang memberikan awan hitam untuk Diandra. Pemikiran itu mulai membuat Satya kalut. Langit adalah lapisan atas dari permukaan bumi dan digolongkan sebagai lapisan tersendiri yang disebut atmosfer, dan seperti itulah Alex, ia merupakan atmosfer dalam hati Diandra. Kalau langit terdiri dari banyak gas dan udara, maka begitulah Alex, menyimpan banyak cinta dan rindu untuk Diandra. Satya masih merenungi semua yang diucapkan Alex, di bawah langit malam di depan ruang rawat Diandra.

Satya kini menyadari, ia sempat menggantungkan semua mimpinya pada awan-awan di langit, karena memang di situlah lokasi mimpi seharusnya. Namun ternyata ia salah, tak selayaknya ia hanya menempatkan lokasi mimpinya di langit, tanpa menyentuh bumi, yaitu hati Diandra. Ia biarkan dirinya terus berlari menuju angkasa dan meninggalkan Diandra. Perempuan yang selalu ada dikala langit tak selalu cerah. Satya tiba-tiba teringat akan sebuah kutipan dari seorang penyair yang pernah ia berikan pada Diandra. Kutipan tentang cinta dari Jalaludin Rumi, Cinta memiliki lima ratus sayap dan setiap sayap membentang dari atas surga di langit tertinggi sampai di bawah bumi”.  Ya, langit tertinggi memang hanya dapat dijangkau dengan cinta, bukan benci, bukan dendam, apalagi ego.

“Diandra, apakah langit yang pernah kita lukiskan dengan mata senja penuh rindu masih tersimpan goresannya? Atau malah telah memudar warnanya?”
“Masih mungkinkah aku membawakan pelangi sekedar untuk membuatnya kembali berwarna?”

Satya bergumam dalam hati.



*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day26

Sabtu, 15 September 2018

SISTER



“Diandra tidur?”
“Iya dia lagi tidur. Lu udah makan? Makan bareng yuk.”
“Ayo boleh.”
“Diandra tadi sempat kasih tahu untuk nggak bilang soal keadaan dia ke ibu dan Diara. Lu kasih tahu aja ke rumah kalo dia pergi sama lu.”
“Iya nanti gue telepon ke rumah.”
“Sat, maaf banget gue harus bicara ini sama lu. Lu sama Diandra baik-baik aja? Karena gue melihat dia nggak dalam keadaan baik-baik aja. Dia sakit, gue yakin itu. Tapi dia nggak mau terus terang, dia menolak untuk jujur. Gue sama Diandra cuma masa lalu, dulu kita dekat bahkan sangat dekat, gue tahu dia menunggu kejujuran gue soal perasaan saat itu, tapi gue pergi. Gue merasa gue bukan laki-laki yang terbaik buat dia, tapi lu. Lu yang pantas dan terbaik buat dia. Kalaupun gue kembali saat ini bukan karena gue mau ngajak dia balik, bukan karena gue mau ngacak-ngacak rumah tangga lu sama dia. Gue malah kecewa waktu tahu dia menangisi nasib pernikahannya. Rasa sayang gue ke dia nggak pernah hilang sampai kapan pun, tapi bukan tanggung jawab gue membuat dia bahagia, itu tugas lu. Dia layak bahagia dan itu cuma sama lu. Percaya sama gue, Sat. Dia masih sangat ingin lu kembali. Cobalah lu pikirin lagi, gue tahu lu juga masih sayang sama dia.”
“Kesalahan gue udah terlalu banyak, entah udah berapa kali dia sakit hati gara-gara kelakuan gue, rasanya gue udah nggak mungkin bikin dia bahagia lagi.”
“Sat, kalo lu masih punya keyakinan untuk berubah, jalanin. Yakinin dia bahwa lu mampu.”
“Semua nggak segampang itu, Lex”
“Sat, lu punya banyak waktu untuk berubah dan merubah segalanya demi lu, Diandra dan anak-anak. Beda sama gue. Gue nggak punya kekuatan itu makanya gue nggak akan bisa memperjuangkan Diandra. Anak-anak kalian itu kekuatan buat lu berdua. Sakitnya dia saat ini adalah jawaban dari Tuhan bahwa lu harus kembali, lu yang harus jaga dia, bukan gue. “

Satya terdiam mendengar ucapan Alex, entah kenapa dia tidak bisa memiliki sikap seperti Alex. Tak salah kalau Diandra dulu berharap pada dirinya, cintanya begitu besar pada Diandra. Perhatian dan kasih sayangnya seperti tak sebanding dengan Satya. Ia merasa gagal sebagai laki-laki. Mungkin Alex benar, anak-anak lah yang menjadi kekuatan kami.


*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day25

Jumat, 14 September 2018

SISTER


          Setelah kejadian aku pingsan di makam ayah 3 hari yang lalu, sepertinya aku harus kembali rajin cek up kesehatan. Sejak ayah sakit aku lebih sibuk mengurusnya dan mengesampingkan urusanku. Hari ini pagi-pagi sekali aku sudah bersiap menuju rumah sakit. Alasanku pada ibu karena banyak pekerjaan kantor jadi aku berangkat pagi. Sungguh aku tak bermaksud berbohong pada ibu tapi kayaknya aku juga tidak mungkin jujur tentang semua ini. Ya walaupun cepat atau lambat pasti akan ketahuan juga. Jam 8 pagi aku sudah tiba di rumah sakit. Entah kenapa aku mulai tak enak badan, rasanya aku tadi sudah sarapan, tapi kepalaku terasa pusing. Aku mencoba berdiri untuk memastikan bahwa tubuhku masih kuat. Tapi...

“Pak, coba tolong cek di telepon genggamnya mungkin ada keluarga yang bisa dihubungi, ibu ini biar ditangani di UGD dulu.”
“Iya suster, sebentar saya cek dulu.”

Alex tampak mengutak-atik telepon genggamku, mencari nomor telepon rumah atau siapapun dari keluargaku.

“Halo, Satya ya? Bisa tolong segera ke rumah sakit? Diandra pingsan di rumah sakit.”
“Diandra?! Iya baik.”

Aku sudah mulai siuman dari pingsan. Agak heran kenapa bisa ada Alex di sini.

“Kok kamu ada di sini? Ngapain?”
“Syukurlah kamu udah bangun. Masih pusing ya?”

Alex memegang erat tangan kananku sambil tersenyum. Aku masih sedikit pusing dan Alex masih belum juga memberi penjelasan tentang kehadirannya di rumah sakit ini. Ia hanya sibuk memperhatikan kondisi dan keperluanku.

"Lex, tolong jangan kasih tahu Ibu dan Diara ya, aku cuma capek aja nggak enak badan."
"Capek? Nggak enak badan? Itu terus alasan kamu dari terakhir kali kamu pingsan, pokoknya aku mau dokter periksa kamu seluruhnya, nggak boleh ada yang lewat satu pun."
"Iya, iya, aku pasrah deh, tapi tolong jangan bilang Ibu dan Diara aku di sini ya?"

     Alex cuma mengangguk lalu memintaku untuk kembali beristirahat. Tangannya masih menggenggam erat tanganku. Sekitar satu jam kemudian Satya datang menghampiriku di ruang UGD. Satya sudah berada di dalam ruangan ketika tangan Alex masih menggenggamku. Ia baru menyadari kehadiran Satya ketika mendengar Satya mengucap salam dengan suara agak pelan. Alex terlihat agak terkejut dan segera melepaskan tangannya dariku.

"Satya, ya? Gue Alex, kebetulan tadi gue lagi di rumah sakit waktu gue lihat Diandra pingsan."
"Iya nggak papa. Makasi banyak ya. Diagnosa dari dokter apa ya? Apa masih observasi?"
"Iya masih tahap observasi. Gue keluar dulu ya, biar lu bisa di sini jagain sambil tunggu dokternya."
"Sip. Makasi Lex."

Aku tak benar-benar tidur, samar-samar kudengar suara Satya di sampingku. Tangannya menggantikan posisi tangan Alex yang tadi menggenggamku. 


*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day24

Kamis, 13 September 2018

SISTER



“Kak, kalo suatu saat nanti aku dan Yuka berpisah, apa ibu nggak masalah?”
“Apa benar-benar nggak bisa dibicarain lagi? Atau kamu sudah nggak ada cinta untuk Yuka.”
“Mungkin dia yang sudah nggak ada cinta buat rumah tangga kita. Kita sudah seperti punya jalan masing-masing. Aku sibuk sama urusanku dan dia sibuk sama kerjaannya.”
“Kalian nggak coba liburan bareng?”

Klise benar saranku pada Diara, sedangkan hubunganku dan Satya saja meruncing begini. Kalau Diara sampai memutuskan berpisah dan itu terjadi, ibu akan sangat kecewa kepada kami. Rumah tanggaku saja begini dengan Satya, ditambah Diara yang juga menempuh jalan yang sama. Mungkin untuk tahap awal aku bisa menutupi perginya Satya dari rumah karena soal pekerjaan, tapi ini nggak mungkin akan berjalan selamanya. Ibu pasti akan curiga dan menanyakan keadaan kami. Seketika aku merasa sangat pening, pandanganku agak kabur. Selanjutnya aku hanya sempat mendengar teriakan Diara bernada tinggi. Lalu hilang. Aku pingsan terkapar.

“Diandra, kamu sudah sehat? Diara bilang kamu pingsan tadi siang.”
“Nggak papa, aku cuma capek aja. Kamu telepon tadi siang?”
“Iya. Aku mau tanya hasil dokternya gimana? Ada yang serius?”
“Oh, nggak kok. Semua baik-baik aja.”
“Kamu yakin?”
“Iya, percaya deh.”

Suara Alex di telepon terdengar khawatir akan keadaanku, ia tahu bahwa aku tidak sedang baik-baik saja. Tapi aku tidak mungkin cerita pada Alex atau pada siapapun. Aku tetap bersikukuh bahwa aku sehat dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua aku simpan rapat-rapat dari siapapun, apalagi dari anak-anak. Aku tidak mau menghancurkan harapan mereka begitu tahu soal keadaan ibunya. Malam ini aku pikir aku sudah terbebas dari pertanyaan Alex di telepon, tapi aku salah. Dia menelepon dari depan rumahku dan sekarang ada di depanku.

“Mana katanya kamu sehat-sehat aja? Pucat begini bilangnya nggak papa. Jangan pernah anggap sepele penyakit deh.”
“Idih jelek kamu. Kebiasaan nggak ilang-ilang dari dulu, tiba-tiba muncul kayak jelangkung.”
“Sembarangan. Mana ada jelangkung ganteng gini?”

Aku cubit pinggangnya sambil tertawa, ia meringis kesakitan. Ya Tuhan, kenapa bukan Satya yang seperti ini? Kenapa bukan Satya yang hadir saat aku sakit begini? Kenapa aku masih mengharapkan Satya? 



*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day23

Rabu, 12 September 2018

SISTER



           Aku meratapi makam ayah dalam kesendirian, tanahnya belum juga mengering, taburan bunga-bunga dua hari lalu masih agak segar. Melihat nama orang tercinta di sebuah nisan rasanya seperti mimpi. Kini tak ada lagi sosok ayah yang sangat perhatian pada keluarganya. Laki-laki yang berwaktu-waktu mengasuh rasa dan mendengarkan jiwa anak istrinya berkata-kata. Ayah yang selalu pandai merangkum semua masalah menjadi keteduhan.

“Kak Diandra.”
“Diara. Kamu sama siapa?”
“Sendiri. Kakak sama siapa?”
“Iya sendiri juga.”

           Diara langsung berdoa di depan makam ayah, tangisannya tiba-tiba saja tak terbendung. Aku menghampiri dan memeluknya. Aku pikir orang yang paling terpukul akan kehilangan ayah adalah aku, ternyata bukan. Diara yang selama ini aku kenal sebagai anak yang paling tegar akhirnya runtuh juga. Tangisannya membawa seribu luka yang ia sembunyikan dari ayah. Ia tak sedang baik-baik saja.

“Terlalu banyak kesalahan yang aku simpan dari ayah, padahal ayah berharap banyak padaku.”
“Diara, kamu selalu sempurna di mata ayah. Bersyukurlah bahwa ayah tak harus tahu semua beban kita anak-anaknya.”
“Sesempurna apa, Kak? Pendidikan yang bagus? Pekerjaan yang hebat? Padahal sempurna di mata ayah adalah aku dan Yuka bisa memberinya cucu!”
“Diara. Pernikahan tak selalu berkisah tentang memiliki anak. Itu takdir.”
“Ya, mungkin itu takdir. Mungkin sudah takdir aku memiliki suami yang sama sekali tak ingin mempunyai keturunan.”
“Maksud kamu apa?”
“Apa kakak pikir 10 tahun aku dan Yuka menikah dan belum punya anak itu karena kami nggak mampu? Kami nggak mandul, Kak. Bahkan niat aku untuk berusaha dengan jalan bayi tabung pun nggak digubrisnya. Egonya jauh lebih besar dibanding keinginannya memiliki anak.”

          Aku tertegun mendengar semua perkataan Diara. Baru kali ini ia begitu jujurnya bercerita tentang isi hati terdalam. Aku dapat merasakan kekecewaan yang ia alami selama usia pernikahannya. Harapan tentang seorang bayi mungil hilang dan terbang bersama keras hati sang suami. Pantaskah aku merangkai amarah pada Yuka? Atau membiarkan semua menjadi urusan mereka yang selamanya akan jadi redup?


*bersambung*

#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day22

Selasa, 11 September 2018

SISTER



           Kepergian ayah tak hanya memberi luka di hati kami namun juga menoreh kerinduan terdalam. Ibu seperti telah ikhlas menerima semuanya, ia yang paling tegar dibanding kami anak-anaknya. Entah isi hatinya, mungkin sama terlukanya atau malah paling terluka dari kami. Kehilangan belahan jiwa yang telah bersama selama hampir 45 tahun adalah hal terberat. Aku dapat merasakan kehilangan yang ibu rasakan seperti saat Satya dan aku memutuskan berpisah dan pergi jauh dari rumah, dari aku dan anak-anak. Ini menjadi kehilanganku yang kedua tentang sosok laki-laki yang sangat aku cintai. Meskipun perpisahanku dan Satya belum resmi secara hukum, tapi tetap saja melepasnya pergi dari hidupku itu ujian paling sakit.

“Kamu apa kabar? Kok sekarang kurusan?”
“Kabar baik. Ya mungkin capek selama merawat ayah. Kamu apa kabar?”
“Baik juga. O iya, aku mau ambil surat-surat ayah, ibu bilang kamu yang simpan.”
“O gitu. Ada di lemari yang biasa, masih inget kan? Tolong ambil sendiri, tanganku masih kotor.”
"Diandra, aku minta maaf. Bahkan dalam keadaan seperti ini aku nggak bisa selalu ada di samping kamu."
"Sudahlah. Aku nggak papa. Toh aku tetap harus membiasakan diri ini tanpa kamu kan?"
"Diandra, apa sampai saat ini ayah dan ibu masih tidak tahu tentang kondisi kita?"
"Menurut kamu gimana? Apa kamu pikir aku tega cerita pada mereka? Sekarang cuma ada ibu, tapi rasanya malah makin berat buat kasih tahu ibu. Lagipula itu tugas kita berdua untuk kasih tahu ibu, bukan hanya aku, iya kan?"
"Iya aku tahu. Nanti aku cari waktu yang tepat untuk kita kasih tahu ibu dan keluarga."
"Kamu udah siap?"
"Diandra, kamu tahu benar sampai kapanpun aku nggak pernah siap untuk melepas semua ini, kamu tahu aku sangat bergantung sama kamu dan anak-anak."
"Tapi sekarang kamu bisa kan?"

   Satya hanya menarik nafas panjang, ia tahu berdebat soal ini akan berujung pada pertengkaran. Aku masih terdiam menatapnya. Satya terlihat seperti tak terawat, tubuhnya agak gemuk tapi tak terurus dan pucat, kulitnya agak gelap, matanya yang dulu selalu menyiratkan kehangatan kini letih seperti sangat kurang tidur. Kamu kenapa Satya? Apa perempuan itu tak mengurusmu dengan baik? Ini seperti bukan kamu yang aku kenal. Dari balik punggungnya aku dapat menerka sebuah beban besar dalam hatinya. Ia pasti sedang kalut, kacau atau malah berantakan hidupnya. Ia masih sibuk mencari surat-surat ayah di lemari, aku lalu pergi meninggalkannya.



*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day21

Senin, 10 September 2018

SISTER


            Aku menelepon Satya memberitahukan tentang keadaan ayah yang sedang kritis. Walaupun kami sudah pisah rumah tapi Satya masih menantu ayah. Tak baik rasanya kalau aku tak memberitahukannya. Bukan aku tak mengharapkan kehadiran Satya, hanya saja kalau setiap akhir percakapan kami cuma jadi pertengkaran nantinya akan sia-sia.

“Halo, maaf aku cuma mau kasih kabar, ayah kritis, kalo sempat tolong mampir ke rumah.”
“Astaga! Aku langsung kesana.”

        Tanpa aku sadari ternyata Diara telah berdiri di dekatku, entah ia mendengar atau tidak ucapanku pada Satya. Aku lihat ia juga sibuk denga telepon genggamnya.

“Satya dimana, Kak?”
“Oh, dia masih di luar kota, tapi dia langsung pulang udah aku kabari.”

        Menjelang siang hari Satya baru sampai di rumah dan langsung menuju ke kamar ayah. Wajahnya seperti getir melihat keadaan ayah, seperti ada luka yang pernah ia sematkan pada ayah dan ia menyesal. Laki-laki berpostur tinggi dan tegap itu langsung mengambil posisi di samping ayah, meraih jari jemari dan menggenggamnya. Cukup lama ia mencium tangannya. Sebuah ucapan ia bisikkan di telinga ayah, mungkin permintaan maaf atau apalah. Aku tak mendengar.

        Pelan-pelan Satya melepaskan tangannya dari tangan ayah, menatap laki-laki senja yang semakin kurus tubuhnya. Tangannya langsung terkulai lemas, tak ada pergerakan. Satya mencoba memanggil ayah beberapa kali. Aku dan Diara menangis terisak di ujung tempat tidur. Ibu masih berusaha memanggil ayah, tangannya tampak menepuk-nepuk pipi sang suami tercinta. Sebelum akhirnya ia menyadari bahwa ayah telah pergi. Aku dan Diara menangis sambil berpelukan. Banyak hal yang kami sembunyikan dari ayah dan membuat ia mengira bahwa kami anak-anaknya baik-baik saja. Sungguh, ingin sekali kami bercerita pada ayah. Ya Tuhan, kami rindu ayah.

*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day20

Minggu, 09 September 2018

SISTER



               Diara sudah seminggu berada di rumah, keadaan ayah membuat ia dan Yuka harus pulang ke Jakarta. Pekerjaan mereka masih bisa dipantau secara online, sesekali aku lihat Yuka sempat meeting melalui skype ataupun webcam. Namun seperti biasa aku dan Diara hanya terlibat obrolan yang biasa, tak ada yang spesifik. Tapi aku sepertinya ingin mengajak Diara mengobrol lebih pribadi, sebagai adik kakak. Keinginan ini masih dalam niatku saja, belum bisa secara langsung aku terapkan. Aku harus melihat situasi dan kondisi di rumah serta Diara sebagai inti pembicaraanku nanti. Sejak kecil sebenarnya aku sangat berharap bisa menjadi teman terbaik buat Diara. Sore ini aku melihatnya sedang duduk santai di teras rumah, sambil sesekali bercanda dengan Tiara, anak bungsuku.

“Tiara kayaknya seneng banget main sama kamu, bawa ajalah ke sana.”

Aku membuka obrolan dengan sedikit canda. Diara hanya tertawa.

“Kasihanlah kalo sampai sana aku malah sibuk kerja, masa aku titip ke daycare?”
“Jadi kamu sampai kapan di Jakarta?”
“Santai aja, semua kerjaan masih bisa dikerjain lewat laptop. Pokoknya kalo ayah udah lebih baik baru aku bisa balik ke sana, dari pada nggak tenang juga perasaan aku kan?”
“Iya sih. Ya semoga aja ada kemajuan sama ayah, menurut dokter semangat ayah untuk bertahan sangat tinggi, makanya dokter cukup optimis ayah akan sembuh.”
“Aku cek ayah sebentar ya, Kak.”

Tak lama kemudian telepon genggam Diara berbunyi, aku melirik kearah telepon genggam tapi hanya nomor telepon, tak ada nama si penelepon. Diara lalu mengambil dan menjawabnya. Entah siapa yang menelepon tapi sangat jelas terdengar bahwa itu bukan teman biasa. Mungkin teman terbaik selama di luar negeri, atau malah teman terbaik di hati Diara?

*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day19

Sabtu, 08 September 2018

SISTER



         Sejak kecil hidup Diara selalu mulus-mulus saja tak pernah ada konflik berat apalagi terjerumus hal-hal tidak baik. Pendidikannya dari SD sampai kuliah nyaris sempurna, kasih sayang yang ia dapatkan pun tak pernah kekurangan, teman-teman yang keren dan seru, belum lagi saat ini pekerjaannya yang sangat cocok menurutku. Ia merupakan tipe perempuan yang cukup sukses, bahkan aku sendiri selalu salut padanya. Tapi ukuran sukses tiap manusia berbeda-beda. Kita mungkin merasa melihat orang lain lebih bagus padahal menurut orang tersebut biasa aja, belum ada pencapaian apa-apa.
           
      Masa SMA aku dan Diara sama halnya seperti anak sekolah lainnya, seru, penuh kenangan, penuh tawa, dan sedikit kenakalan. Kami satu sekolah saat SMA, makanya ada beberapa teman aku yang masih saling mengenal dengan teman-teman Diara. Dengan ketegasannya dahulu aku sangat yakin bahwa ia mampu bersikap yang sama terhadap pasangannya. Namun aku salah. Sifat tegasnya telah lebih dulu dipatahkan oleh ego sang suami. Ia mengalah. Entah untuk apa. Mungkin untuk ayah, sosok pria yang telah menatap senja di usianya. Diara tak mau mengecewakan ayah dengan keadaan rumah tangganya serta sikap Yuka, suaminya.

“Aku benar-benar nggak mengira kalo keadaan rumah tangga mereka kayak gitu, sedih banget aku, rasanya saat itu aku ingin sekali menampar muka Yuka, tapi kan nggak mungkin.”
“Janganlah, kasian tangan kamu.”
“Lex, ah, kamu becanda mulu.”
“Kamu sih lucu kalo lagi marah-marah, jadi inget masa SMA dulu pas kamu ke sekolah aku lagi marah-marah.”
“Ih rese nih, masih inget aja.”

Aku dan Alex tertawa mengingat masa SMA kita, walaupun nggak satu sekolah tapi kami tetap selalu dekat.



*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day18

Jumat, 07 September 2018

SISTER



“Sampai kapan kamu bertahan sama ego kamu?”
“Ini bukan ego, ini udah jadi keputusan aku. Aku kan udah bilang, kalo kamu mau punya anak, silakan urus sendiri! Kalo perlu titip yayasan aja biar nggak repot!”
“Gila kamu!”
“Udahlah kamu nggak usah buka obrolan yang kamu sendiri udah tau cuma jadi ribut.”
“ Kamu bener-bener nggak punya perasaan!”

Aku begitu terkejut mendengar pertengkaran mereka saat aku tak sengaja melewati kamar Diara. Diara keluar dari kamarnya dengan kesal dan penuh amarah. Aku pura-pura sibuk menelepon seseorang agar Diara tak curiga aku telah mendengarnya. Aku tak menyangka ini adalah penyebab mereka belum memiliki keturunan. Karena Yuka memang benar-benar tak menginginkannya. Kok ada ya laki-laki seperti itu? Aku lihat ia baik-baik saja terhadap anak-anakku. Ia layaknya paman yang sangat menyayangi keponakannya, tidak terlihat sebagai seseorang yang membenci anak-anak. Entahlah, mungkin memiliki anak sendiri akan berbeda rasanya.
Sebenarnya bukan sekali ini aku pernah mendengar Yuka berbicara sangat emosi kepada Diara. Dulu pernah saat aku sedang menelepon Diara, aku mendengar dari ujung telepon teriakan amarah Yuka soal kemeja yang kurang rapi hasil seterikaannya. Diara berusaha menutupnya mungkin tapi masih agak terdengar olehku. Tapi aku tak menanyakannya, itu urusan mereka. Sungguh aku terkejut mendengar pertengkaran mereka kali ini. Wanita mana yang tidak menginginkan seorang buah hati dalam pernikahannya? Tapi malah suaminya sendiri yang membuang jauh semua mimpi itu. Tidakkah ia sendiri memiliki mimpi untuk mempunyai keturunan?



*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid4
#Squad4
#Day17

Kamis, 06 September 2018

SISTER



Laki-laki yang hadir dari kisah masa lalu adalah seseorang yang sulit untuk digubris. Menyakitkan ataupun menggembirakan waktu dulu, tak lantas membuat kita menolak untuk seseorang itu masuk kembali dalam kehidupan kita. Ya, akhirnya aku ada di masa itu, masa dimana orang sengaja atau tidak, akan ditarik lagi oleh kenangan mereka. Dan disaat hubunganku dengan Satya ada diujung tanduk, Alex muncul kembali. Mungkin orang-orang akan menyebutnya sebagai godaan setan atau ujian atau cobaan. Atau malah main api.

“Jadi menurut kamu kenapa kita bisa ketemu lagi?”
“Takdir mungkin.”
“Kamu percaya nggak Diandra, kalo semua yang kita hadapi itu ada alasannya?”
“Lalu alasan dari pertemuan kita ini apa?”
Unfinished business maybe? Atau mungkin ada harapan?”
“Harapan? Itu kan komplek rumah kamu.”
“Iya juga ya. Makin cerdas ya kamu sekarang.”

Aku tertawa melihat ia geregetan sama guyonanku.

“Diandra, apa masih ada harapan untuk kita?”
No comment ah…”
Nope, maksud aku, kalo untuk kita aja masih ada harapan, kenapa harapan itu nggak kamu pindahkan ke dalam rumah tangga kamu? Maaf, bukan aku mencampuri. Hanya saja aku benci melihat kamu terluka. Kamu pantas bahagia tahu nggak?”
“Kalo bahagianya aku ternyata cuma sama kamu gimana?”
“Diandra, lihat aku, lihat keadaan aku sekarang, berkacalah dari rumah tanggaku yang berantakan ini. Harapan itu selalu ada, tapi aku membuangnya jauh-jauh hanya karena ego.”

Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Kalo sudah seperti ini ia cukup tahu bahwa pembahasan berhenti dan aku hanya ingin dipeluknya. Aku tahu ia masih sangat menyayangiku, masih sangat peduli pada hidupku dan masih sangat merindukan tentang kita.



*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day16

Rabu, 05 September 2018

SISTER



           Ucapan “I love you too” hanya bisa aku teriakan dalam hati tanpa bisa aku sematkan kembali di telinga Alex. Bukan aku tak ingin membalasnya tapi aku nggak mampu. Alex tahu benar bagaimana kisah kami. Kisah yang sudah lebih dulu kami tuliskan berlembar-lembar halaman jauh sebelum pertemuanku dengan Satya. Kami tak pernah mengikrarkan diri sebagai sepasang kekasih. Tapi hati kami sudah mewakili. Tepat disaat aku menikah, Alex menghilang tanpa kabar. Sampai akhirnya kami bertemu kembali di sini. Disaat semuanya telah jauh berganti, disaat semuanya terlambat untuk dibahas, disaat semua lembaran-lembaran cerita itu secara terpaksa aku robek dan kujadikan sampah. Oh, mungkin ia pun hanya menganggapku sampah hingga tak sedikitpun ia berjuang untuk sebuah arti cinta sejati.

Kami duduk di sebuah teras restoran bergaya minimalis. Sore ini kami mencoba menenangkan hati kami berdua untuk sebuah kejujuran. Alex duduk di sebelahku, sesekali menengok kearahku sambil tersenyum. Sepertinya Tuhan memang sudah mentakdirkan kami untuk bertemu lagi agar semuanya menjadi jelas. Waktu hanyalah tentang ukuran yang berjalan berdampingan dengan kita. Tuhan sudah mendekatkan kami dengan cinta, lantas mengapa kami harus meninggalkan cinta itu dengan benci? Tuhan sempat menyatukan, lalu kenapa terpecahkan?  

“Aku boleh menggenggam tanganmu?”

Aku tahu setelah ini pasti ia akan menanyakan ada apa denganku. Alex selalu seperti itu, ia pintar membaca aura wajahku saat aku sedang bermasalah.

“Aku pikir kamu sudah berubah.”
“Maksudmu?”
“Iya, habis ini pasti kamu akan menanyakan aku lagi kenapa.”

Alex tertawa mendengar ucapanku, tangannya semakin erat menggenggamku.

“Jadi kamu kenapa? Aku cuma mau memastikan kamu baik-baik aja.”
“Tuuhh kaan....”

Aku balik tertawa karena semua tebakanku benar.

“Kalo kamu selalu mau memastikan aku baik-baik aja, terus kemana kamu selama ini? Kamu tahu aku nggak dalam keadaan baik-baik aja saat itu.”
“Harus banget dibahas ya?”
“Ya udah nggak penting juga sih sebenernya, tapi aku cukup merasa seperti sampah aja waktu itu.”
“Aduh kok gitu? Aku baru ketemu loh ada sampah secantik ini.”
“Nggak usah gombal, nyebelin tahu nggak kamu itu?”
“Nyebelin kayak gini aja bikin kangen mulu ya.”
“Idih...”

      Sungguh aku dapat melihat kerinduan terdalam di matanya. Kerinduan yang tiap kali kami dulu tak bisa bertemu karena kesibukan masing-masing, lalu hanya pantai yang dapat menebus kerinduan kami. Dahulu, waktu segalanya masih bersama dan terjalin manis.
            


*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day15