
Dear Ditya,
Apa kabarmu? Semoga kamu sehat selalu. Masih ingatkah kamu padaku? Aku yang setia menunggumu di pulau Dewata walau kita berjauhan. Aku yang setia menantimu untuk mengisi hari-hariku di tanah kelahiranku. Aku yang setia mendengarkan semua cerita tentang kehidupan Jakartamu. Aku yang setia menghirup semua amarahmu untuk aku ganti dengan senyuman. Dan kamu yang selalu setia ada di pelataran komplek Pura Besakih hanya untuk membiarkanku dengan ibadahku. Aku rindu itu semua tapi rasanya kita bukan yang dulu, kamu bukan lagi aku yang menjaga. Kalaupun aku mengirim surat ini tak ada maksud untuk membuat luka perempuanmu, atau mengingatkan masa itu, apalagi menyadarimu bahwa aku ada. Aku hanya ingin berterima kasih atas segalanya. Memori tentangmu adalah kebahagiaan terbesarku, pun dalam tidur panjangku nanti. Sampaikan salamku terhadap perempuanmu dan rasa iri ku yang besar, karena pasti ia sangat menjagamu dan menyayangimu dengan tulus. Tapi aku ikhlas, seikhlas aku melepas raga ini dari dunia fana, seikhlas melepas jiwa ini untukku bawa serta menghadap Tuhanku. Tunjukkanlah surat ini pada perempuanmu, agar kepercayaan kalian tetap terjaga. Dan saat kalian membaca surat ini, mungkin aku telah ada di sisi Tuhanku.
Salam,
Astri
Aku menghela nafas panjang sambil melipat surat berwarna putih gading itu. Ditya hanya terdiam tak sedikitpun berbicara. Aku menatapmu dan meraih tanganmu lembut.
"Simpanlah surat ini, ini adalah surat terindah yang pernah aku baca," ucapku masih dengan tatapan yang sama.
"Kenapa begitu? Aku malah mau membuangnya, aku nggak mau kamu berpikiran macam-macam tentang aku karena surat ini," sahutmu cepat.
"Yank, aku tahu ia mantanmu, tapi hormatilah perasaannya yang sampai di akhir hayatnya masih menyayangimu, bahkan ia menghormati aku sebagai istrimu dan pernikahan kita. Kecuali ia sempat mengganggu hubungan kita, itu lain soal. Atau kamu masih menyimpan perasaan yang sama," aku berusaha menjelaskan.
"Boleh aku minta tolong?" tanyamu kemudian.
"Soal apa?" jawabku.
"Tolong kamu simpan surat itu, karena aku nggak mau menyimpan apapun soal masa lalu," pintamu dengan tegas.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Ditya, memori itu memang tentangmu dengannya tapi menjalani masa depan denganmu itu lebih penting dari sekedar mengukir sebuah kenangan.
*bersambung
#15HariNgeblogFF2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar