Dua hari ini serasa hanya sepi, bahkan nyaris kosong. Kamu jadi enggan menyapa, apalagi berbagi senyum. Tawa itu mendadak hening sejak pertengkaran kita. Aku hanya bisa diam saat kamu mencapai titik amarah yang tinggi. Membujuk dibalik semua kesalahanku tapi entah kamu menerima atau tidak. Aku hanya berusaha. MAAFIN AKU...
Surat itu aku lipat dan aku simpan dalam sangkar jerami tempat burung-burung singgah, diatas pohon. Aku tak berani memberikannya, kamu pasti masih marah, malah suratku nanti kamu robek-robek tanpa dibaca. Aku mengamati dari teras rumah, beberapa burung sedang mematuk-matukkan paruhnya pada suratku. Ah, sudahlah, pun surat itu hancur aku tak bisa apa-apa.
Sore itu kamu sudah ada di rumahku, duduk di teras sambil memegang sepucuk surat. Padahal aku tahu kamu masih marah. Aku menjadi agak kikuk membawakanmu secangkir teh manis hangat. Aku hanya diam. Kamu masih membacanya. Lalu aku memberanikan diri bertanya," kamu sudah membacanya?" Kamu seperti baru menyadari keberadaanku. "Iya, sudah," jawabmu. Aku tersenyum sambil tersipu. "Aku pikir cuma dengan surat itu kamu bisa maafin aku," kataku berusaha menatapmu. "Siapa bilang ini surat dari kamu?" kamu balik bertanya. "Tapi itu memang suratku, aku yang membuatnya, itu kan tulisan aku," sahutku meyakinkan. "Surat ini bukan dari kamu, ini dari burung-burung yang berusaha meminta maaf padaku karena serpihan surat lainnya telah mereka hancurkan," jawabmu tegas. Aku cuma tertegun.
Rabu, 18 Januari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar