Pasar tradisional pukul 09.00 pagi ini, kesibukannya nggak kalah sama pegawai-pegawai kantoran di kota-kota besar. Tukang sayur, tukang ayam potong, tukang daging, sampai toko kelontong di pasar ini semua berlomba menjajakan dagangannya dengan suara riuh. Namaku Yudo, hobiku fotografi, sengaja pagi ini aku membawa kameraku ke pasar tradisional ini mencari model-model dadakan dan alami. Bakul jamu yang dipanggul dengan tegarnya, ayam-ayam yang ribut berkokok menanti waktu pemotongan, penjual kelapa yang bergantian memasukkan butiran kelapa ke dalam mesin parut, tukang beras yang menata dan mengangkat karung-karung beras untuk dijual.
"Ini semua berasnya pesanan ya bang?" tanyaku pada si penjual beras merah sambil mengamati karung-karung yang baru saja diangkatnya dari dalam toko.
"Heh, sembarangan aja manggil 'bang' ," sahutnya cepat menatapku.
Dibukanya topi yang menutupi wajah dan rambutnya yang tergelung dalam topi, tergerai...cantik...
Aku takjub memandangnya, tak kusangka ada makhluk cantik ayu di pasar tradisional sekumel ini.
"Eh, aduh, maaf, aku kira kamu bukan perempuan," ucapku terbata-bata.
"Kamu bukan orang sini ya?" tanya perempuan muda itu.
Aku mengangguk cepat sambil tersenyum lalu mengarahkan kameraku pada wajahnya. Ia setengah menangkis, menolak untuk difoto. Aku tersenyum tak jadi membidik wajah cantiknya. Aku tak mau memaksa, dari pada nantinya terjadi keributan di pasar ini.
"Kamu wartawan?" tanyanya sambil mengamatiku.
"Bukan, ini hanya hobi saja," jawabku.
"Boleh aku tahu nama kamu?" aku balik bertanya.
"Canting," sahutnya sambil mengulurkan tangannya.
"Yudo," balasku.
Tak lama seorang wanita setengah tua menghampirinya.
"Nak Canting, persediaan beras merahnya habis, ibu-ibu masih ramai menunggu di posyandu," katanya agak tergopoh-gopoh.
"O iya bu, biar saya siapkan dulu ya, nanti saya menyusul kesana, nggak lama," jawabnya sambil segera menutup toko.
"Loh, tokonya kan baru buka, kenapa kamu tutup?" tanyaku bingung.
"Masih ada yang lebih penting," sahutnya cepat.
Lalu Canting menuju parkiran mengambil sepedanya, aku masih mengikutinya dan ikut mengambil sepedaku. Sekilas aku lihat ia tersenyum. Mungkin ia bingung untuk apa aku mengikutinya. Kami sampai di sebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang cukup luas. Rumah yang asri dan sejuk sekali. Aku lihat ia dengan sigap menyiapkan sebuah makanan, mencuci beras, memotong sayuran dan merebusnya. Tak lama kemudian beras merah telah menjadi nasi pulen yang hangat. Canting menatanya dalam sebuah rantang besar. Sejak awal ia mulai memasak aku sibuk mengabadikan semuanya dengan kameraku. Ini hal yang tak boleh aku lewatkan begitu saja. Canting dengan sigap mengayuh sepedanya menuju posyandu. Ibu-ibu menyambutnya dengan antusias. Yang lain membantu Canting membagikan nasi beras merah dan bubur beras merah untuk para bocah-bocah di posyandu ini.
"Terima kasih bu dokter," ucap seorang ibu muda menggendong anaknya yang berusia 1 tahun.
Canting mengangguk tersenyum sambil membelai anak ibu muda tersebut. Aku malah yang terperangah kaget melihat semua ini. Jadi, Canting seorang dokter? Penjual beras merah itu seorang dokter?
"Aku mau balik ke pasar, mau buka toko lagi, kamu mau ikut?" pertanyaannya membuyarkan lamunanku.
"Eh, iya iya, aku ikut," jawabku meraih sepeda.
#15HariNgeblogFF