Aku masih merasakan kata-kataku tadi begitu
menyengat di telinga Satya, entah dirinya. Aku menghela napas panjang. Ini
sudah yang kesekian kalinya, entahlah apa aku masih bisa bertahan menyelamatkan
rumah tangga kami. Aku, bukan kami. Iya, mungkin cuma aku. Akan jadi percuma
kalau aku berusaha bertahan sekuat tenaga tapi ia tetap sibuk dengan dunianya. Isi
otakku seakan terbagi-bagi antara memikirkan ayah dan persoalan rumah tanggaku.
Sulit sekali hati ini untuk bercerita, sulit sekali bibir ini untuk berkisah
banyak tentang apa yang sedang aku rasakan saat ini. Tidak pada sahabat
terdekatku, apalagi pada keluarga. Airmata ini seperti telah lelah untuk
keluar, amarah ini seperti telah habis berseteru. Aku berujung pada ketidakpedulian.
Satu-satunya yang aku pedulikan hanya anak-anak, itu saja.
“Anak-anak boleh kamu bawa,” ucap Satya.
“Boleh?? Apa maksud kamu?! Nggak
sepantasnya kamu menawarkan aku hal kayak gitu. Anak-anak harus tetap sama aku!”
sahutku ketus.
Satya terdiam. Ia paham benar melihat
sikapku yang begitu murka atas kelakuannya.
“Maafin aku... Aku banyak salah sama kamu...”
“Udahlah... Udah males aku dengerinnya...”
Aku mengambil telepon genggamku,
berusaha untuk menghentikan pembicaraan yang hanya berakhir pada keributan. Sok
sibuk dengan telepon genggam memang satu sikap yang tepat. Untuk sementara ini mungkin.
Sungguh aku sebenarnya ingin semua berakhir baik, tak ada perpisahan.
*bersambung*
#30DWC
#30DWCJilid4
#Squad4
#Day6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar