“Diara, kayaknya kamu dan Yuka harus segera
pulang ke Jakarta, Kakak khawatir sama kesehatan Ayah, mungkin kalo kamu sama
Yuka pulang Ayah bisa lebih semangat. Tapi kamu nggak perlu bilang Kakak
telepon karena Ayah sebenernya melarang Kakak untuk kabarin kamu,” ucapku di
ujung telepon.
“O gitu… Iya, Kak. Diara langsung
siap-siap deh sama Yuka,” sahut Diara.
Suaranya terdengar agak mencekat, namun
Diara berusaha tenang. Aku tahu ia berusaha untuk tegar. Itulah Diara. Kalau
aku di posisi Diara, mungkin sudah nangis duluan meraung-raung atau sekedar
sesegukan di telepon. Iyalah aku kan memang lebih cengeng dan sensitif.
Padahal ayah pernah beberapa kali sakit
juga walau ini yang terparah menurutku, ibu juga sempat 3x dirawat di rumah
sakit, tapi entah kenapa aku selalu merasa lebih iba melihat ayah. Ibu biarpun
dirawat dan diinfus tapi aku masih melihat kekuatan di raut wajahnya. Beda sama
ayah, ia seperti langsung terkulai lemah tak berdaya. Apa ini memang kelebihan
yang diberikan Tuhan pada perempuan? Sebesar apapun cobaan selalu ada tameng
rahasia di jiwa perempuan.
Aku masih terdiam di sisi dapur sambil
sesekali meneguk kopi susu hangat.
“Kamu jangan kebanyakan ngopi,” suara
Satya menghentikan lamunanku.
“Kamu juga, jangan kebanyakan punya
perempuan,” aku langsung meninggalkan Satya menuju kamar.
Aku tahu kata-kataku barusan pasti
terasa sangat menyentil hatinya, tapi aku tak peduli.
*bersambung*
#30DWC
#30DWCJilid4
#Squad4
#Day5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar