YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 22 Agustus 2018

SISTER


              Jiwa kita memang tidak bisa memilih ingin hidup dengan siapa, hidup dimana, ataupun hidup yang bagaimana. Garis hidup dari Tuhan memang sulit ditebak, oleh ramalan sekalipun. Seperti aku yang harus hidup dengan keluarga ini. Tidak, tidak, orangtuaku bukan orangtua jahat atau kejam, mereka bahkan sangat baik dan sayang terhadapku. Tapi memiliki adik perempuan seperti Diara merupakan keunikan tersendiri buat aku. Iya unik. Sejak kecil kedekatan kami sebagai adik kakak sama seperti halnya adik kakak lain, wajar dan normal. Tapi mungkin terlalu biasa aku menganggapnya. Kami bukanlah adik kakak yang sering mengungkapkan segalanya dengan berpelukan, menangis bersama, atau menghabiskan waktu bersama. Buat aku, Diara terlalu tegar untuk dijadikan sebagai adik, terlalu cuek sebagai adik dan terlalu sibuk dengan dunianya. Dia pekerja tangguh, mandiri dan pintar. Meneruskan S2 di luar negeri sambil bekerja, membuat jarak kami semakin melangkah jauh. Sesekali kami bertelepon, bertukar kabar di chat pribadi, tapi tak pernah ada kejujuran berkeluh kesah tentang hal pribadi.
            Mungkin karena keseharianku sejak dulu bersama anak-anak, mengajar di sebuah sekolah swasta, mendengarkan cerita mereka dan merasakan kebahagiaan mereka, maka aku terlihat lebih peka, lebih punya empati. Dalam pergaulan, Diara lebih memilih dibanding aku. Hanya orang-orang tertentu yang bisa dekat dengan Diara sebagai sahabatnya. Itulah mengapa Diara terlihat lebih eksklusif dibanding aku yang tak pernah sedikitpun menyeleksi mau seperti apa model teman-temanku. Ya buat apa juga? Toh nantinya akan ada seleksi alam saat kita sedang terpuruk, mereka akan tetap ada atau tidak? Inilah yang seringkali membuat Ayah kami sedikit pilih kasih. Iya, aku menyebutnya pilih kasih. Ayah seringkali merasa aneh melihat pertemananku yang ajaib dengan beberapa orang, namun tak pernah merasa aneh melihat teman-teman Diara yang eksklusif. Ayah seringkali marah besar saat nilai matematikaku hanya 6 atau malah 5. Ayah seringkali habis-habisan menceramahiku saat aku memutuskan memilih bahasa sebagai mata pelajaran kesukaanku. “Mau jadi apa nanti kalau masuk bahasa? Penjurusan di SMA yang masuk kelas bahasa itu hanya anak buangan…” Jujur deh, kalau bukan Ayah yang bilang kayak gitu mungkin sudah aku hajar itu orang.

*bersambung*

#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day1




Tidak ada komentar: