Sekitar setengah jam Rama baru kembali
ke tempat duduk, di sebelahku. Aku diam pura-pura tak terjadi apa-apa. Cowok di
sebelahku ikut terdiam, mencoba fokus pada film tapi aku yakin ia seperti
geregetan sama situasi ini. Rama mulai sok sibuk sama telepon genggamnya.
“Sayang, kamu masih mau nerusin filmnya?
Aku tadi waktu diluar dapat telepon dari rumah ada hal penting, kayaknya aku
harus pulang deh, atau kamu mau disini aja?” bisik Rama padaku.
“Hal pentingnya nggak berhubungan sama
aku kan? Ya udah kamu pulang aja, tanggung filmnya nih, aku pulang sendiri aja,”
sahutku.
“Beneran nggak papa?” wajah Rama sok
memelas.
Aku mengangguk. Rama segera beranjak pergi meninggalkan
aku. Tak dihiraukannya lagi aku ini, mau selamat atau tidak hidupku saat pulang
nanti. Aku menghela napas panjang.
“Kenapa nggak digampar aja biar dikasih
pelajaran.”
Mungkin kalimat itu sudah sejak tadi
menunggu di ujung bibir cowok tersebut. Aku menoleh padanya mencoba meyakini
diri apakah harus aku melakukan hal itu.
“Buat apa? Nggak tega aku sama tangan
ini.”
“Ya setidaknya dia sadar kalo kamu tahu
kelakuannya.”
“Dia lagi nggak sadar, dia lagi jatuh
cinta, kalo dia sadar dia nggak akan selingkuh kayak gini.”
“Jadi kalo orang jatuh cinta itu lagi
nggak sadar?”
“Jatuh cinta pada jalur yang tepat itu
baru sadar diri, kalo di jalur yang salah artinya dia sakit jiwa!”
Film telah selesai, aku langsung pergi
meninggalkan teater 1.
“Eh Mbak, tunggu!”
Cowok itu berusaha mengejarku setengah
berlari.
“Kamu ngapain ngikutin aku? Aku capek,
kesel sama kejadian ini!”
“Mbak, temenin saya makan yuk.”
Dan setengah jam sudah aku dan Satya
duduk di restoran ini. Ya, namanya Satya. Waktu kami banyak diisi oleh cerita
Satya tentang kampusnya dulu, pekerjaannya sekarang, dan keluarganya. Ia seperti
tak memberi ruang padaku untuk kembali berkeluh kesah. Tak membiarkan aku
terhanyut pada amarah serta tangisku. Ia hanya ingin aku kembali tersenyum.
*bersambung*
#30DWC
#30DWCJilid4
#Squad4
#Day9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar