YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 31 Agustus 2018

SISTER



           Satya, laki-laki yang selalu ingin melihatku tersenyum. Alumni ITB yang saat ini bekerja di sebuah perusahaan kontraktor dan sedang jomblo. Keterangan yang terakhir itu penting adanya karena sejak pertemuan kami di teater tersebut ia satu-satunya yang selalu ada di sampingku. Keseriusannya terhadapku sangat ia tunjukkan. Dan 3 bulan setelah kedekatan kami, ia melamarku secara resmi. Satya bukan tipe laki-laki romantis, malah ia terkesan cuek. Ia selalu apa adanya tanpa dibuat-buat. Kayaknya ia laki-laki yang nggak pernah jaim di depanku ataupun di depan keluargaku. Satu-satunya alasan aku memilihnya adalah ia selalu menganggapku ada, karena itulah aku nyaman bersamanya. Perasaan ini yang tidak aku dapatkan dari Rama. Laki-laki nggak berguna yang sekarang sudah ke laut. Tapi lucunya, tiap kali aku ngomel soal Rama, Satya malah sengaja menggodaku dengan celaan.

“Cie cieee...yang dulu sayang sekarang benciii... Ciee nggak takut bencinya kelewatan jadi rindu?”

 Kalau sudah begitu aku cuma bisa ketawa ngakak melihat sikapnya. Belum lagi saat dulu kami pernah tak sengaja bertemu Rama bersama seorang cewek. Entah ceweknya atau bukan. Tanpa bersalah Rama malah terlihat sok asik menanyakan kabarku, dan tentu saja mengacuhkan keberadaan Satya yang ada di sampingku.

“Hai, Diandra, kamu apa kabar? Aku coba chat dan telepon kamu loh tapi kok nggak bisa terus ya? Kamu ganti nomer?” suara Rama terdengar antusias dan sok manja.
“Iya aku ganti nomer. Kamu udah sukses ganti otak belum?” lalu aku menarik tangan Satya dan segera menjauh dari Rama.

             Tak ada yang bisa menerka siapa yang akan menjadi jodoh kita, siapa yang akan menua atau mati bersama kita. Tidak juga dengan Satya. Tak pernah menduga pertemuanku dengan Satya akan begitu uniknya. Kedekatan kami akan se-intens ini. Dan pernikahan kami akan se-khidmat ini.

“Makasi udah mau menerima diriku dalam versi apapun, udah mau menikah dengan laki-laki yang bandel nggak bisa dibilangin ini, udah mau menjadi nyonya Satya yang paling aku sayang.”



*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day10

Kamis, 30 Agustus 2018

SISTER


Sekitar setengah jam Rama baru kembali ke tempat duduk, di sebelahku. Aku diam pura-pura tak terjadi apa-apa. Cowok di sebelahku ikut terdiam, mencoba fokus pada film tapi aku yakin ia seperti geregetan sama situasi ini. Rama mulai sok sibuk sama telepon genggamnya.

“Sayang, kamu masih mau nerusin filmnya? Aku tadi waktu diluar dapat telepon dari rumah ada hal penting, kayaknya aku harus pulang deh, atau kamu mau disini aja?” bisik Rama padaku.
“Hal pentingnya nggak berhubungan sama aku kan? Ya udah kamu pulang aja, tanggung filmnya nih, aku pulang sendiri aja,” sahutku.
“Beneran nggak papa?” wajah Rama sok memelas.

Aku mengangguk. Rama segera beranjak pergi meninggalkan aku. Tak dihiraukannya lagi aku ini, mau selamat atau tidak hidupku saat pulang nanti. Aku menghela napas panjang.

“Kenapa nggak digampar aja biar dikasih pelajaran.”

Mungkin kalimat itu sudah sejak tadi menunggu di ujung bibir cowok tersebut. Aku menoleh padanya mencoba meyakini diri apakah harus aku melakukan hal itu.

“Buat apa? Nggak tega aku sama tangan ini.”
“Ya setidaknya dia sadar kalo kamu tahu kelakuannya.”
“Dia lagi nggak sadar, dia lagi jatuh cinta, kalo dia sadar dia nggak akan selingkuh kayak gini.”
“Jadi kalo orang jatuh cinta itu lagi nggak sadar?”
“Jatuh cinta pada jalur yang tepat itu baru sadar diri, kalo di jalur yang salah artinya dia sakit jiwa!”

Film telah selesai, aku langsung pergi meninggalkan teater 1.

“Eh Mbak, tunggu!”

Cowok itu berusaha mengejarku setengah berlari.

“Kamu ngapain ngikutin aku? Aku capek, kesel sama kejadian ini!”
“Mbak, temenin saya makan yuk.”

Dan setengah jam sudah aku dan Satya duduk di restoran ini. Ya, namanya Satya. Waktu kami banyak diisi oleh cerita Satya tentang kampusnya dulu, pekerjaannya sekarang, dan keluarganya. Ia seperti tak memberi ruang padaku untuk kembali berkeluh kesah. Tak membiarkan aku terhanyut pada amarah serta tangisku. Ia hanya ingin aku kembali tersenyum. 



*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid4
#Squad4
#Day9

Rabu, 29 Agustus 2018

SISTER



“Sayang, aku ke toilet sebentar ya,” ucap Rama.
“Ini filmnya sebentar lagi juga mulai, kamu bukan dari tadi ke toiletnya.”
“Iya sebentar aja kok.”

Barisan tempat aku dan Rama duduk hanya aku, Rama dan 1 cowok di sebelahku. Entah kenapa dia nonton ke bioskop sendirian. Mungkin sang pacar belum datang. Aku menengok ke kanan dan ke kiri, melihat ke sekeliling yang memang isi penonton saat itu tak begitu penuh. Cowok di sebelahku tersenyum. Aku membalasnya ragu-ragu. 10 menit berlalu Rama belum juga kembali masuk ke dalam bioskop. Cowok di sebelahku tiba-tiba beranjak pergi meninggalkan tempat duduknya. Untunglah ini bukan film horor jadi aku nggak ketakutan berada di barisan ini sendirian. Tak lama cowok tersebut kembali duduk di sebelahku.

“Maaf, mbak dateng sama pacar apa suami?” tanya cowok itu.
“Calon suami. Kenapa?” sahutku cepat.
“Ooo… Kayaknya saya lihat diluar lagi ngobrol sama temannya,” ujarnya.
“Masa sih?” nadaku setengah tak percaya.

Aku langsung beranjak dari kursi dan keluar dari ruangan teater 1. Agak lama aku memperhatikan sikap Rama yang masih asyik berbincang dengan seorang perempuan. Sesekali mereka tertawa lepas dan terlihat agak mesra. Suara informasi bahwa ruangan teater 2 telah dibuka, baru saja terdengar. Loh, Rama? Rama kenapa masuk ke teater 2 ya? Aku seketika mematung, langkahku seperti tak bisa bergerak kearah manapun. Mulut ini terasa kaku tak mampu berteriak memanggil nama Rama. Entah apa yang membawaku kembali masuk ke ruangan teater 1 ini. Terduduk lemas dan pandangan yang kosong.

“Mbak.”
Dengan agak berbisik cowok itu berusaha mengajakku bicara.
“Mbak, mbak nggak papa?”

Seketika itu pula aku langsung menangis di bahunya. Aku tahu ia pasti sangat terkejut. Karena beberapa orang sempat menoleh ke barisan atas tempat kami duduk, mungkin mendengar suara tangisku. Ia hanya diam membiarkanku mengeluarkan semua amarah dan kekesalan ini. Dan tentu saja membiarkan bahunya untuk aku pinjam sebentar. Ini film komedi, tapi tak sedikitpun aku tertawa. Harusnya kalian menertawakan hidupku, hidupku yang baru saja hancur dan berantakan.

*bersambung*

#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day8

Selasa, 28 Agustus 2018

SISTER



Sulit buatku menghadirkan ikhlas dalam hati ini. Haruskah? Haruskah ikhlas? Padahal hanya sakinah yang kuinginkan? Mungkin saja aku memang bukan jalanmu, tapi sampai sejauh inikah? 15 tahun bersama dan akan menguap begitu saja. Kita bisa saja mengakhiri perjalanan tapi tak mudah mematikan rasa. Dan mengapa harus ada 2 cinta? Belasan tahun ini, apakah memahamimu itu pekerjaan terberatku? Atau hanya aku yang mencoba memahami segalanya? Tentang kamu. Yang aku tahu sekarang pecahan-pecahan hati ini sudah tak ada lagi yang bisa menyusunnya menjadi utuh. Tak ada lagi yang meneduhkanku saat terik yang menyakitkan menusukku. Aku bukan rapuh. Kamu salah. Aku hancur. Terima kasih, aku hancur…
Aku tak akan memenuhi otakku dengan mempertanyakan apa kesalahanku selama ini. Karena kesalahan ini harusnya bertumpu pada kita, bukan aku atau kamu. Terlalu banyak yang sudah aku pertaruhkan sepertinya, sampai-sampai kamu hanya menganggapku sampah. Bodohnya aku, masih saja ada ruang tersendiri yang kupersiapkan untuk kamu di hati ini. Berikut cadangan maaf yang entah sudah keluar berapa ratus kali dari mulutku. Sakit jiwa nggak sih kalau aku masih mau mempertahankan? Meski bukan untuk aku, tapi demi anak-anak? Sesak yang teramat dalam karena kamu sudah menjadi bagian dari napas di tubuhku. Akhirnya aku merasakan juga apa yang orang-orang sebut sebagai “hilang separuh jiwa”.


*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day7

Senin, 27 Agustus 2018

SISTER



Aku masih merasakan kata-kataku tadi begitu menyengat di telinga Satya, entah dirinya. Aku menghela napas panjang. Ini sudah yang kesekian kalinya, entahlah apa aku masih bisa bertahan menyelamatkan rumah tangga kami. Aku, bukan kami. Iya, mungkin cuma aku. Akan jadi percuma kalau aku berusaha bertahan sekuat tenaga tapi ia tetap sibuk dengan dunianya. Isi otakku seakan terbagi-bagi antara memikirkan ayah dan persoalan rumah tanggaku. Sulit sekali hati ini untuk bercerita, sulit sekali bibir ini untuk berkisah banyak tentang apa yang sedang aku rasakan saat ini. Tidak pada sahabat terdekatku, apalagi pada keluarga. Airmata ini seperti telah lelah untuk keluar, amarah ini seperti telah habis berseteru. Aku berujung pada ketidakpedulian. Satu-satunya yang aku pedulikan hanya anak-anak, itu saja.
“Anak-anak boleh kamu bawa,” ucap Satya.
“Boleh?? Apa maksud kamu?! Nggak sepantasnya kamu menawarkan aku hal kayak gitu. Anak-anak harus tetap sama aku!” sahutku ketus.
Satya terdiam. Ia paham benar melihat sikapku yang begitu murka atas kelakuannya.
“Maafin aku... Aku banyak salah sama kamu...”
“Udahlah... Udah males aku dengerinnya...”
Aku mengambil telepon genggamku, berusaha untuk menghentikan pembicaraan yang hanya berakhir pada keributan. Sok sibuk dengan telepon genggam memang satu sikap yang tepat. Untuk sementara ini mungkin. Sungguh aku sebenarnya ingin semua berakhir baik, tak ada perpisahan.  

*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid4
#Squad4
#Day6

Minggu, 26 Agustus 2018

SISTER


“Diara, kayaknya kamu dan Yuka harus segera pulang ke Jakarta, Kakak khawatir sama kesehatan Ayah, mungkin kalo kamu sama Yuka pulang Ayah bisa lebih semangat. Tapi kamu nggak perlu bilang Kakak telepon karena Ayah sebenernya melarang Kakak untuk kabarin kamu,” ucapku di ujung telepon.
“O gitu… Iya, Kak. Diara langsung siap-siap deh sama Yuka,” sahut Diara.  
Suaranya terdengar agak mencekat, namun Diara berusaha tenang. Aku tahu ia berusaha untuk tegar. Itulah Diara. Kalau aku di posisi Diara, mungkin sudah nangis duluan meraung-raung atau sekedar sesegukan di telepon. Iyalah aku kan memang lebih cengeng dan sensitif.
Padahal ayah pernah beberapa kali sakit juga walau ini yang terparah menurutku, ibu juga sempat 3x dirawat di rumah sakit, tapi entah kenapa aku selalu merasa lebih iba melihat ayah. Ibu biarpun dirawat dan diinfus tapi aku masih melihat kekuatan di raut wajahnya. Beda sama ayah, ia seperti langsung terkulai lemah tak berdaya. Apa ini memang kelebihan yang diberikan Tuhan pada perempuan? Sebesar apapun cobaan selalu ada tameng rahasia di jiwa perempuan.
Aku masih terdiam di sisi dapur sambil sesekali meneguk kopi susu hangat.
“Kamu jangan kebanyakan ngopi,” suara Satya menghentikan lamunanku.
“Kamu juga, jangan kebanyakan punya perempuan,” aku langsung meninggalkan Satya menuju kamar.
Aku tahu kata-kataku barusan pasti terasa sangat menyentil hatinya, tapi aku tak peduli. 

*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid4
#Squad4
#Day5

Sabtu, 25 Agustus 2018

SISTER



Ayah menggenggam erat tanganku, matanya penuh harap, penuh maaf, penuh cinta. Aku seperti tak pernah menemukan tatapan ayah seperti ini. Ya, aku rindu tatapan ayah yang selalu menenangkan dan menghangatkan. Ayah akan selalu jadi ayah terbaik dalam hidupku, ayah paling sempurna dalam jiwaku. Ia tersenyum, aku merintih dalam hati. Hanya dalam hati. Aku tak mampu membalas tatapan ayah penuh senyum. Aku seperti mendadak rapuh. Rapuh melihatnya terbaring namun penuh senyuman, tanpa keluhan. Ada keikhlasan tersirat dari tubuhnya yang lemah.
“Kamu nggak usah suruh Diara pulang ya, kasihan dia sibuk,” pinta Ayah pelan.
“ Tapi Diara harus tahu Ayah sakit,” sahutku cepat.
“Jangan…” Ayah menggeleng.
Aku pasrah mengangguk. Hati tercabik. Tak mungkin aku menyembunyikan ini dari Diara, ini kan ayahnya juga. Melihat keras hatinya sama persis seperti Diara. Aku mengalihkan pandangan kearah Satya, suamiku. Ia hanya memberi kode untuk mengiyakan saja semua keinginan ayah. Setidaknya di depan ayah.
“Diandra, terima kasih ya…”
“Terima kasih untuk apa, Ayah?”
“Karena kamu sudah memberikan Ayah hadiah terbaik dalam hidup, bukan S2, bukan S3.”
Aku semakin bingung dengan jawaban ayah.
“Empat cucu yang lucu dan sehat…” Ayah tersenyum.
Aku terenyuh mendengar ucapan ayah, ini seperti sudah ia lepaskan semua ego dalam hatinya padaku.
“Mungkin cuma itu yang bisa Diandra kasih untuk Ayah, Diandra nggak bisa kasih S2, pekerjaan Diandra hanya karyawan biasa.”
“Cuma??? Nak, itu luar biasa buat Ayah. Sungguh…”
Aku terdiam. Menahan airmata sekuat tenaga yang sebenarnya sudah membendung untuk keluar membanjiri pipi. 
Aku kuat… Aku kuat… Aku kuat…

*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day4

Jumat, 24 Agustus 2018

SISTER


“Kak, lagi ngapain? Sibuk?”
“Nggak Diara, kakak nggak sibuk. Kamu apa kabar? Lagi sibuk apa sekarang?”
“Baik Kak, biasalah Diara lagi sibuk kuliah sekalian kerja, Kak.”
“Wah, bagus dong kalau bisa sambil kerja? Yuka apa kabar?”
“Yuka baik, dia masih meeting belum pulang. Ayah sama Ibu sehat, Kak? Kemarin Diara telepon Ibu katanya Ayah lagi nggak di rumah.”
“Iya, Ayah dan Ibu sehat.”

Lalu percakapan kami di chat pribadi ini terhenti.

Ah, mungkin Diara kembali sibuk, pikirku. Tapi entah kenapa aku merasa seolah ada yang ingin Diara ceritakan. Aku bukan tak berani menanyakan, tapi tak mampu. Begitu hafalnya aku dengan sifat Diara yang tak mau orang lain tahu tentang hidupnya. Orang lain hanya layak tahu tentang apa yang sudah ia capai selama ini, pendidikannya atau pekerjaannya. Bahkan aku sendiri tak tahu kalau dulu adikku ini telah memiliki calon suami, ironis ya, seorang kakak nggak tahu apa-apa soal adiknya. Aku sampai berpikir, ini salah aku atau memang Diara yang sangat sulit terbuka padaku?
Diara kini telah menikah selama hampir 10 tahun, namun Tuhan belum mempercayakan Diara dan Yuka untuk memiliki keturunan. Apalagi untuk hal ini, sesuatu yang sangat sensitif untuk aku tanyakan pada Diara mengapa ia dan suaminya tidak mau berusaha ke dokter untuk mengupayakan memiliki anak. Bayi tabungkah? Atau apapun jenis usahanya. Buat aku sih nggak masalah, karena pernikahan bukan hanya soal memiliki keturunan atau tidak. Tapi buat Ayah dan Ibu mungkin menjadi persoalan besar karena mereka sangat ingin menimang cucu dari Diara dan Yuka. Walaupun mereka telah memiliki 4 orang cucu dari aku dan Satya, tapi tetap saja akan berbeda dari setiap anak. Apalagi Ayah, sosok yang sangat penuh harapan pada Diara. Pastilah ia tidak hanya berharap tentang pendidikan dan pekerjaan Diara, tapi juga soal anak.



*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day3

Kamis, 23 Agustus 2018

SISTER


          Apa jeleknya sih masuk jurusan Bahasa? Aku nggak pernah menganggap bahwa masuk jurusan Bahasa adalah suatu kemunduran pemikiran ataupun kebodohan seseorang. Apa semua manusia pintar pasti jenius di matematika? Kan nggak begitu juga. Tapi ya apapun itu, Ayah tetaplah Ayah. Meski kesal atau sulit menerima, aku tetap harus menghormatinya. Pun aku tetap menerima keadaan bahwa Diara yang lebih menjadi kebanggaan Ayah dibanding aku. Sejak kecil aku sudah terbiasa menghadapi semuanya dengan sikap dewasa. Entah dewasa atau sok dewasa. Terkadang hanya bisa bercerita pada Ibu yang pada akhirnya hanya merespon dengan senyuman sambil mengelus pipiku. “Jadi kakak harus sabar...” Kalau sudah begitu aku hanya bisa diam sambil menghela nafas. Ibu pernah menanyakan hal iseng padaku. “Diandra, kalau kamu sudah besar nanti, apa kamu mau punya suami seperti Ayah?” Aku mengernyitkan dahiku. “Ya kenapa nggak? Ayah kan sosok laki-laki baik, bertanggung jawab, penyayang, pintar, kayaknya nggak ada yang nggak bisa Ayah perbaiki di rumah ini, iya kan, Bu?” Ibu hanya tersenyum. “Yakin? Bukannya kamu suka mengeluh kalau Ayah pilih kasih?” Aku tertawa. “Ah Ibu... Kalau soal itu biarinlah, semua orangtua pasti lebih memilih anak yang pintar dibanding yang bodoh kan?” Ibu merangkul pundakku. “Ibu lebih memilih anak yang selalu mendoakan orangtuanya.” Aku tersenyum.
       Usiaku dan Diara terpaut 3 tahun, tapi ukuran tubuh kami tak berbeda jauh, walaupun ukuran sepatu Diara memang lebih besar daripada aku. Kulit Diara lebih putih dariku, ia mewarisi kulit Ibu yang putih bersih. Tapi aku mewarisi warna bola mata Ibu yang coklat. Aku ingat saat kami kecil, Diara selalu malas merapihkan kamar dan tempat tidur. Belum lagi buku-buku yang berserakan di sisi tempat tidur karena hobinya yang selalu membaca buku sebelum kami tidur. Hobi kami sebenarnya sama yaitu membaca buku, tapi jenis buku kesukaan kami berbeda. Tugas bersih-bersih kamar ini selalu Ibu berikan padaku. Ibu berkeyakinan bahwa aku lebih bersih dalam hal menyapu. Aku tahu Ibu berusaha untuk memuji agar aku mau melakukannya, padahal tanpa itupun aku pasti mau. Diara sebenarnya adik yang menyenangkan, terkadang kami tertawa bersama karena membahas suatu hal. Di usia kami yang telah dewasa ini, aku sering merindukan tawa yang pernah kami rajut bersama. Untuk hal apapun. Jarak yang berjauhan, waktu yang tak dapat diterka dan kesempatan yang berlomba dengan segala kemungkinan. 


*bersambung*


#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day2

Rabu, 22 Agustus 2018

SISTER


              Jiwa kita memang tidak bisa memilih ingin hidup dengan siapa, hidup dimana, ataupun hidup yang bagaimana. Garis hidup dari Tuhan memang sulit ditebak, oleh ramalan sekalipun. Seperti aku yang harus hidup dengan keluarga ini. Tidak, tidak, orangtuaku bukan orangtua jahat atau kejam, mereka bahkan sangat baik dan sayang terhadapku. Tapi memiliki adik perempuan seperti Diara merupakan keunikan tersendiri buat aku. Iya unik. Sejak kecil kedekatan kami sebagai adik kakak sama seperti halnya adik kakak lain, wajar dan normal. Tapi mungkin terlalu biasa aku menganggapnya. Kami bukanlah adik kakak yang sering mengungkapkan segalanya dengan berpelukan, menangis bersama, atau menghabiskan waktu bersama. Buat aku, Diara terlalu tegar untuk dijadikan sebagai adik, terlalu cuek sebagai adik dan terlalu sibuk dengan dunianya. Dia pekerja tangguh, mandiri dan pintar. Meneruskan S2 di luar negeri sambil bekerja, membuat jarak kami semakin melangkah jauh. Sesekali kami bertelepon, bertukar kabar di chat pribadi, tapi tak pernah ada kejujuran berkeluh kesah tentang hal pribadi.
            Mungkin karena keseharianku sejak dulu bersama anak-anak, mengajar di sebuah sekolah swasta, mendengarkan cerita mereka dan merasakan kebahagiaan mereka, maka aku terlihat lebih peka, lebih punya empati. Dalam pergaulan, Diara lebih memilih dibanding aku. Hanya orang-orang tertentu yang bisa dekat dengan Diara sebagai sahabatnya. Itulah mengapa Diara terlihat lebih eksklusif dibanding aku yang tak pernah sedikitpun menyeleksi mau seperti apa model teman-temanku. Ya buat apa juga? Toh nantinya akan ada seleksi alam saat kita sedang terpuruk, mereka akan tetap ada atau tidak? Inilah yang seringkali membuat Ayah kami sedikit pilih kasih. Iya, aku menyebutnya pilih kasih. Ayah seringkali merasa aneh melihat pertemananku yang ajaib dengan beberapa orang, namun tak pernah merasa aneh melihat teman-teman Diara yang eksklusif. Ayah seringkali marah besar saat nilai matematikaku hanya 6 atau malah 5. Ayah seringkali habis-habisan menceramahiku saat aku memutuskan memilih bahasa sebagai mata pelajaran kesukaanku. “Mau jadi apa nanti kalau masuk bahasa? Penjurusan di SMA yang masuk kelas bahasa itu hanya anak buangan…” Jujur deh, kalau bukan Ayah yang bilang kayak gitu mungkin sudah aku hajar itu orang.

*bersambung*

#30DWC
#30DWCJilid14
#Squad4
#Day1