Aku hanya bisa menangis. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Ketika airmata tak berlaku lagi bagimu sebagai rasa iba atau kasihan padaku. Bisa karena terbiasa, mungkin itu yang saat ini erat melekat pada diriku. Ya, sepertinya aku telah terbiasa menerima semua sikapmu, telah terbiasa menghadapi semua perlakuanmu. Otakku menjerit, hatiku menangis tapi tubuh ini hanya bisa pasrah. Seakan aku ikhlas akan semua tindakan burukmu.
Ayah, tidakkah kau letih dengan semua ini?
Hari ini aku kembali menerima hujaman tanpa syarat. Entah apa salah dan dosa yang telah aku perbuat. Seolah itu tak ada beda di matamu. Padahal aku merasa sikapku sudah begitu manisnya, semua suruhan dan keinginanmu aku lakukan. Hanya karena kau adalah Ayahku. Hormatku tak akan berkurang, apalagi sayangku, walau sehebat apapun jeratan pilu yang telah kau gores pada diriku.
Ayah, tidakkah kau juga sayang padaku?
"Ragil! Bangun, Ragil! Ragil!" seseorang berteriak memanggil namaku sambil menopang tubuh mungilku.
Aku terkapar tak berdaya, luka lebam atau darah yang mengucur tak kurasakan. Aku hanya sempat mendengar beberapa orang bersuara lantang. Tuhan, apakah itu suara para malaikatmu? Apakah Engkau telah membawaku ke surgamu? Hingga aku tak akan menikmati seluruh kebatilan itu lagi. Lalu aku bertemu Ibu, menyapa dalam mimpi putihku ini. Ibu memelukku penuh kasih sayang, pelukan yang selama ini aku rindukan. Pelukan yang pernah Ayah janjikan padaku di depan pusara Ibuku, namun sirna dengan hadirnya iblis-iblis itu dalam diri Ayahku. Ibu, kau begitu hangat, secuil luka pun tak lagi kurasakan.
Ayah, mengapa kau terus menyiksaku?
"Alhamdulillah, Ragil, kamu sudah sadar. Kamu sudah koma selama satu minggu," mas Eka tersenyum di sebelah tempat tidurku.
Aku masih dirawat di rumah sakit ini, mas Eka dan para tetangga telah menyelamatkan aku dari liarnya sikap Ayahku. Mengeluarkan aku dari sendi-sendi penyiksaan dan terpaan penuh luka. Aku yang teraniaya oleh keluargaku sendiri, sekarang telah bebas dari sakit yang berkepanjangan. Mas Eka dan para tetangga yang sudah tidak sanggup menatap perlakuan biadab Ayahku, sekarang memberikan label merdeka untuk hidupku tepat di hari kemerdekaan negeri ini. Hari dimana bocah seumurku meluapkan kegembiraannya dengan berbagai lomba dalam perayaan kemerdekaan.
"Ragil, setelah ini kamu akan tinggal bersamaku, kamu harus sembuh biar kamu bisa sekolah lagi seperti dulu," ucap mas Eka padaku.
"Bagaimana dengan Ayahku?" tanyaku kemudian.
"Dia masih ditahan di kantor polisi, Ayahmu harus belajar dari semua kesalahan terbesarnya ini," jawabnya tegas.
"Tapi dia Ayahku, aku nggak akan bisa membencinya, mas," kataku lagi.
"Nggak ada seorangpun yang menyuruhmu untuk membencinya, kita hanya harus memberi sedikit pelajaran untuknya, sampai kapanpun nggak akan ada yang bisa memutuskan ikatan darah antara anak dan ayah. Kamu punya hak untuk hidup bebas, Gil. Kamu bisa mengunjunginya kapanpun, tapi tidak sekarang," ujarnya menjelaskan.
Aku tertunduk menangis mendengar kata-kata mas Eka. Dia benar, semua orang harus belajar dari kesalahannya, sekecil apapun. Semua orang berhak untuk bebas dan merdeka atas hidupnya, termasuk juga aku. Bocah laki-laki yang masih berusia 6 tahun yang semestinya sedang bebas bermain sepak bola, bermain kelereng, bersekolah, terkekeh penuh gelak tawa.
Merdeka, tanpa siksaan Ayah di sisiku...
#1bulan1cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar