Aku membuka lemari dengan perlahan, kubuka salah satu laci yang telah lama kubiarkan terkunci. Untunglah kuncinya masih bisa tersambung, tidak berkarat sedikitpun. Aku mengeluarkan sebuah kain berwarna merah putih. Sudah bertahun-tahun, seharusnya lusuh atau warnanya mulai pudar, tapi ini tidak. Kain ini masih tetap kokoh dengan jahitan, warna dan kenangan di dalamnya. Kenangan yang tiap detiknya tak akan pernah mau aku ganti dengan apapun, yang tak akan sanggup aku lepaskan sedikitpun apalagi membuangnya menjadi sebuah kenangan usang. Bagiku semua kenangan ini adalah lebih berharga dari intan berlian sekalipun.
Mengenalmu, menjadi sahabat, dan menikah, disaat genderang perang masih mengalun di negeri ini, disaat penjajah masih sibuk mengeruk semua isi bumi negeri ini. Masa penjajahan adalah masa dimana hati kita juga ikut terpaut satu sama lain. Seperti halnya rasa nasionalisme ini yang semakin kuat terpatri di jiwa kita. Pernikahan kami teramat sangat sederhana. Kamu yang berjuang untuk negeri ini, mempertaruhkan hidup dan mati sampai titik darah penghabisan. Dan aku yang ikut berjuang dari sisi kemanusiaan, membantu para pejuang yang terluka di ranah perang kala itu. Kain merah putih ini adalah mas kawin kita, bentuk cinta sejati kita pada negeri ini.
Aku mengambil sebuah bingkai yang terpampang di dinding sebelah lemari ini. Foto yang usang, tapi guratannya masih cukup jelas. Ini bukan foto pernikahan kita, tapi di hari itu kita berfoto penuh kegembiraan yang meluap. Pekikan kemerdekaan, jabat tangan penuh haru, dan airmata bahagia. Aku memeluk kain merah putih dan foto usang ini. Aku sangat merindukan semua kebersamaan kita dulu. Tak terasa airmata ini menetes di pipiku, bukan untuk sebuah kesedihan melainkan rasa cinta dan bangga akan semua itu, dan kangenku yang teramat dalam padamu.
"Eyang, sudah siap? Yuk, kita berangkat," suara Genta, cucuku, membuatku sedikit tersentak.
Genta membantuku berjalan dengan langkahku yang mulai goyah dan tak seimbang. Kekuatanku sudah tak seperti dulu lagi, saat kita masih sama-sama muda, Galih. Tapi jiwaku yang penuh cinta ini tak pernah sedikitpun goyah untuk negeri ini. Kain merah putih ini masih lekat dalam pelukanku bersama foto usang ini. Hampir setiap tahun semua cucu-cucu dan anak-anak kita menemaniku mengunjungimu Galih. Tepat di tanggal 17 Agustus. Kemeriahan yang sama seperti yang ada dalam foto ini, saat aku mengandung anak pertama kita.
Galih, kapankah kita akan bertemu lagi? Ini adalah tahun ke 30 dimana kita tak dipersatukan lagi. Setiap tahunnya aku hanya bisa mengunjungi makammu dengan bendera kecil yang terbuat dari kayu, tertancap di sisi makammu. Setelah sekian lama, kain merah putih ini akhirnya aku hadirkan kembali dan kubawa tepat ke pusaramu. Mungkin akan menjadi kunjungan terakhirku, entahlah. Aku rindu. Aku rindu dengan semangat merah putihmu yang tak pernah pudar. Aku rindu dengan jiwa patriotmu melawan para penjajah. Aku rindu dengan cintamu yang begitu besar bukan hanya padaku dan anak-anak, tapi pada negeri ini, Indonesia...
#cerpenmerahputih
Selasa, 14 Agustus 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar