Sabtu, 11 Agustus 2012
Bandara. #4 Koper dan Ransel
Aku masih asyik membaca novel sambil menunggu jadwal keberangkatanku tiba. Sesekali aku palingkan pemandanganku pada ruang sekitar. Orang-orang masih sama sepertiku, menunggu. Beberapa ada yang berbincang seru, tertidur di bangku, mendengarkan musik, membuka laptopnya dan membaca seperti aku. Sebuah ransel kecil milik seorang prajurit sengaja diletakkan di atas bangku di sebelahku. Mungkin isinya sangat berharga hingga ia tak mau menaruhnya di bawah atau sembarang tempat. Bagiku itu hanya ransel biasa. Entah dengan isinya. Aku hanya membalas senyumnya saat sang prajurit itu mengambil ransel kecilnya dan memeluknya. Sepertinya ia tak sabar menunggu keberangkatan ini sampai-sampai ia mengangkat ranselnya berulang kali, memeluknya dan meletakkannya kembali di atas bangku. Aneh.
"Mbak, maaf, boleh saya minta tolong?" tanya sang prajurit padaku.
"Ya, ada apa?" sahutku.
"Saya harus ke toilet, bisa saya titip tas ransel dan koper kecil ini? Saya nggak lama," katanya kemudian.
"Iya, silahkan," jawabku tersenyum.
Sang prajurit segera berjalan tergesa-gesa meninggalkan koper dan ransel kecilnya. Aku melanjutkan membaca novelku. Tak lama pengumuman keberangkatan kami tiba, aku mencari-cari sang prajurit yang belum juga nampak. Aku mulai khawatir, khawatir akan keduanya, koper dan ranselnya juga sang prajurit. Aku masih mencoba menunggu dengan sabar, namun akhirnya aku putuskan untuk membawanya bersamaku ke dalam pesawat. Aku pikir nanti pasti kami pun akan bertemu di dalam pesawat.
Hampir satu jam perjalananku ke kota ini, aku tiba dengan selamat.
Ya Tuhan, aku baru teringat akan sang prajurit! Aku segera membawa turun koper dan ransel ini. Dimana sang prajurit itu ya? Gara-gara orang itu aku jadi kewalahan membawa koper dan ransel ini. Harusnya ia satu pesawat denganku dan harusnya ia mencri koper dan ranselnya yang sejak sebelum penerbangan didekapnya dengan erat. Aku jadi penasaran sama isinya, jangan-jangan... Ah, tapi nggak mungkin, koper dan ransel ini lolos mesin deteksi. Kalau tidak, mungkin aku sudah digeledah habis-habisan. Bodoh juga aku, kenapa mau dititipkan dan membawanya juga? Aku mulai kesal dengan koper dan ransel ini. Mungkin aku akan sedikit drama, meninggalkan koper dan ransel ini di toilet atau kutinggalkan begitu saja. Tapi baru kulangkahkan kaki ini, seorang petugas malah menegurku mengingatkan akan koper dan ransel ini. Sial...
Aku mulai memeriksa ransel dan koper ini tanpa membukanya, mungkin akan kutemukan sedikit petunjuk. Syukurlah, ada alamat dan nama seseorang yang ditempel di salah satu sisi bagian koper. Tapi nama perempuan, ini pasti bukan nama sang prajurit. Kalau aku yang mengantar apa akan terjadi suatu kesalah pahaman? Bagaimana kalau aku dikira sebagai perempuan lain dari sang prajurit? Aku mulai dilanda kebingungan. Sebagai langkah awal, aku selamatkan koper dan ransel ini di dalam kamarku. Ya, aku putuskan untuk membawanya pulang. Bahkan aku tegaskan pada keluargaku bahwa itu bukan koper dan ransel oleh-oleh, jadi tak seorangpun berani membukanya.
Hari ini aku putuskan untuk mencari alamat pemilik koper dan ransel ini. Lumayan jauh dari rumahku. Aku hanya berharap niat baik ini tak malah jadi bumerang untukku sendiri. Hampir dua jam perjalanan dan aku sampai pada sebuah rumah berpagar hijau pupus di sebuah komplek perumahan. Aku beranikan diri bertamu sambil membawa koper dan ransel ini.
"Selamat siang, apa benar ini rumah Ibu Dewi?" tanyaku pada seorang perempuan muda yang keluar membuka pintu untukku.
"Ya, saya Dewi, ada apa ya? Silahkan masuk," jawabnya dengan raut bingung.
"Maaf, perkenalkan nama saya Siska, dua hari lalu saya nggak sengaja dititipkan seseorang sebuah koper dan ransel ini. Seharusnya kami satu pesawat, tapi lama saya menunggunya dari toilet nggak datang juga," ujarku pada perempuan itu.
"Anda pacar barunya?" pertanyaannya kali ini membuatku terkejut.
"Eh, waduh, bukan, begini mbak, maksud saya, saya hanya nggak sengaja dititipkan koper dan ransel ini waktu saya sedang menungu jadwal pesawat, tapi lama saya tunggu kok nggak kembali juga, jadi saya bawa masuk koper dan ransel ini karena saya pikir kami akan bertemu di dalam pesawat," aku mencoba membela diri.
"Apa ia memakai seragam prajurit?" tanyanya kemudian.
"Nah, iya tepat! Ia memakai seragam prajurit. Apa ia suami mbak? Apa ia sudah sampai?" jawabku lega.
"Mungkin kami akan berpisah, mas Raka tak menginginkan bayi kami, ia telah cemburu dan menuduh saya berselingkuh, ia nggak mengakui kalau anak ini anaknya," ia mulai bercerita lirih.
Aku tertegun mendengar ceritanya.
"Mbak, apa mbak nggak ingin tahu apa isi di dalam koper dan ransel ini? Setahu saya, suami mbak sangat menjaga koper dan ransel ini sampai memeluknya," tanyaku.
Sebenarnya aku yang dilanda penasaran sejak beberapa hari lalu. Dan perempuan muda ini sedikit kaget dengan ucapanku. Ia segera membuka isi koper tersebut dan ia semakin terkejut saat melihatnya. Koper ini penuh berisi baju-baju dan perlengkapan bayi, bahkan di dalam koper tersebut telah tersedia ukiran nama untuk sang bayi. Di dalam ransel kecilnya terdapat beragam mainan-mainan bayi, dan sebuah tiket pesawat. Tiket ini pasti yang membuat ia tak bisa ikut masuk ke dalam pesawat.
"Mbak, bagaimana mungkin suami mbak nggak mengakui bayi itu kalau isi koper dan ranselnya semua untuk sang bayi?" kataku meyakinkannya.
Ia tertegun haru menatap semua isi koper dan ransel, memeluk sang bayi sambil menangis. Ia pasti rindu sang prajurit. Aku segera berpamitan, meninggalkan ia dan bayinya beserta koper dan ranselnya. Tak berapa lama aku melihat sang prajurit datang, menggendong sang bayi untuk pertama kalinya sambil memeluk sang istri.
Kalau saja hari itu aku tak di bandara, mungkin akan lain ceritanya. Mungkin pesan ini hanya akan tertinggal dan bermukim di bandara, tanpa tahu mengapa ia meninggalkannya...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar