Selasa, 14 Agustus 2012
Bandara. #6 Harsya
Aku masih mengangkat papan nama di pintu kedatangan, semoga saja manusia ini cepat hadir batang hidungnya karena aku harus segera bersiap-siap untuk acara nanti malam, surprise party ulang tahun pacarku :) Sebenarnya ini bukanlah menjadi tugasku, menjemput anak sahabat Mama yang akan berlibur di Indonesia, seharusnya ini tugas mas Hagi karena ia yang lebih mengenalnya sejak kecil. Aku kenal mukanya pun nggak. Tapi mas Hagi mendadak sakit, jadi tugas penjemputan ini dialihkan padaku. Bandara hari ini cukup ramai, beberapa keluarga tentara atau prajurit tampak juga sedang menyambut kedatangan anggota keluarga mereka. Tak berapa lama, seorang pria muda berkulit putih dengan ransel biru, celana pendek, tshirt, sepatu model converse, rambut cepak, menghampiri diriku.
"Harsya?" tanyaku.
"Iya lah, kalau bukan namaku yang ada di papan itu aku mungkin sudah ikut orang lain," jawabnya sambil cengengesan.
Siang-siang sudah kebagian jemput orang tengil kayak begini, pikirku dalam hati.
"Baguslah, yuk cepat, aku masih banyak urusan, mas Hagi sakit jadi nggak bisa jemput," kataku cepat.
"Eh tunggu, aku lapar mau makan dulu," Harsya langsung masuk ke sebuah restoran cepat saji.
Aku hanya bisa pasrah. Harsya berusaha menawari aku tapi aku tolak. Aku lebih minat untuk sampai rumah lebih cepat mempersiapkan ulang tahun pacar nanti malam.
"Jadi kamu adiknya Hagi? Hagi sakit apa? Eh, kamu yakin nih nggak mau makan?" Harsya berusaha membuka obrolan sambil makan.
"Aku nggak lapar. Mas Hagi mendadak tadi pagi badannya panas, nggak tahu kenapa," jawabku sekenanya.
"Tante Nita apa kabarnya, sehat? Sudah lama banget nggak ketemu. Aku terakhir ke Indonesia lima tahun lalu, sebenarnya Papa nawarin aku kerja disini tapi aku masih mau kuliah nerusin S2," Harsya meneruskan obrolannya.
Aku hanya manggut-manggut mencoba bersabar menunggunya makan. Kalau satu jam lagi orang ini masih sibuk ngobrol dan makannya nggak selesai, mungkin aku tinggalin saja kali ya? Heran, jadi cowok makan saja lama banget. Ya, aku lihat makannya memang cepat tapi ngobrolnya ngalor ngidul dan bikin aku semakin nggak tenang. Berkah apa ini disuruh jemput manusia macam ini.
"Kamu lagi buru-buru ya?" tanya Harsya kemudian.
"Ah...akhirnya kamu sadar juga, iya aku memang lagi buru-buru, aku harus siap-siap untuk surpise party pacarku dan kamu dari tadi nggak selesai-selesai ngobrolnya," sahutku dengan nada mulai meninggi.
"Maaf, maaf, makan itu kalau ada temannya memang paling enak kalau sambil ngobrol," Harsya menjawab sambil tertawa.
Wajahku mulai kelihatan kesal sepertinya tapi sikap Harsya tetap santai, merapihkan bekas makanannya dan mencuci tangannya. Aku masih menunggunya, kulihat ia seperti meminta sesuatu di tempat pemesanan. Ya ampun, masih belum kenyang juga? Harsya masih pesan es krim dan kali ini ia juga membelikan aku. Aku tak menolak. Percaya atau tidak, es krim ini sesungguhnya membuatku jadi sedikit lebih tenang. Tapi ketenangan yang tak memakan waktu lama. Di pintu masuk restoran aku melihat Ferry bersama seorang perempuan. Ferry adalah pacarku. Dan perempuan itu sepertinya bukan saudaranya atau kerabatnya, karena mereka terlihat cukup mesra. Ferry menarik sebuah koper, mungkin koper perempuan itu.
"Sedang apa kamu disini?" aku menegurnya.
Ferry dan perempuan itu terlihat cukup terkejut dengan kehadiranku. Terlebih lagi Ferry. Ia pasti sangat nggak mengira aku akan berada di bandara ini. Ferry masih diam tak menjawab pertanyaanku. Perempuan itu malah yang penasaran padaku dan bertanya siapa dan hubungan aku dengan Ferry. Tanganku seperti lebih cepat berpikir dari pada otakku.
"Byaaarr...!" wajah Ferry sudah penuh soft drink yang sengaja aku lemparkan padanya.
Lalu Harsya langsung menarik lenganku untuk pergi sebelum restoran ini berubah jadi kapal pecah karena amarahku. Ferry berusaha mengejarku tapi perempuan itu menahannya. Mungkin mereka sadar kalau posisi mereka sudah salah. Atau malah bersyukur karena aku tahu lebih dulu tanpa perlu mereka jujur padaku. Sial kamu, Fer...
Aku terdiam di dalam mobil di parkiran bandara ini. Harsya tak memperbolehkan aku menyetir dengan kusutnya pikiranku. Mulutnya yang sejak tadi begitu cerewet sekarang diam tanpa nada. Harsya membiarkan aku dengan sikapku dan kekecewaanku tentang Ferry. Anehnya, aku tak menangis sedikitpun. Walau cemberut masih menghiasi rautku.
"Aku mau es krim," ucapku.
"Sebentar, aku belikan," jawab Harsya segera keluar dari dalam mobil.
"Nggak usah, aku ikut, makan di dalam saja," ujarku sambil berjalan masuk kembali menuju ke dalam bandara.
"Temenin aku makan es krim ya," pintaku sambil menghentikan langkahku sementara.
"Bukannya kamu bilang tadi kamu lagi buru-buru untuk persiapan surprise party pacarmu?" tanya Harsya menggodaku.
Aku cemberut sambil memposisikan kedua tanganku di pinggang. Harsya tertawa sambil berlari melihat sikap amarahku. Hari ini aku harus berterima kasih pada banyak orang, pada mas Hagi karena sakitnya (digetok mas Hagi deh kalau tahu aku bersyukur karena dia sakit), pada Mama yang sudah memaksa aku menjemput Harsya, pada Tuhan, dan tentu saja pada Harsya. Tuhan mungkin mengirim Harsya supaya aku mengenal Ferry dari sisi lain, supaya aku lebih membuka mata dan hatiku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar